Wingman Arrows

La Douleur Est Temporaire, La Victoire Est Toujours

Batuan Sedimen (Pettijohn, 1975): Bab 8. SERPIH, ARGILIT, DAN BATULANAU

1 Comment

BAB 8

SERPIH, ARGILIT, DAN BATULANAU

8.1 TINJAUAN UMUM

Diantara berbagai jenis batuan sedimen yang paling sering ditemukan, serpih (shale) merupakan batuan yang memiliki kelimpahan paling tinggi. Serpih membentuk sekitar 1/2 kolom geologi—44% menurut Schuchert (1931), 46% menurut Leith & Mead (1915), dan 56% menurut Kuenen (1941). Serpih membentuk sekitar 32% batuan sedimen Paleozoikum dan Kenozoikum yang ada di kraton Amerika Utara (angka itu merupakan nilai taksiran yang didasarkan pada data yang dikemukakan oleh Sloss, 1968) dan membentuk 44% paket endapan geosinklin di Jackson, Wyoming (Schwab, 1969). Blatt (1970) memperkirakan bahwa 69% sedimen benua yang ada di seluruh permukaan bumi berupa serpih. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan geokimia tertentu, serpih membentuk 80% semua sedimen yang dihasilkan selama sejarah geologi (Clarke, 1924).

Meskipun memiliki kelimpahan yang tinggi, namun serpih tidak tersingkap baik sebagaimana batugamping dan batupasir yang lebih resisten daripadanya. Selain itu, karena teksturnya yang halus dan komposisinya yang kompleks, serpih tidak begitu dipahami sebagaimana material sedimenter yang lain. Halusnya butiran penyusun serpih menyebabkan pengamatan sayatan tipis serpih menjadi sukar untuk dilaksanakan. Banyak material penyusun serpih tidak dapat dikenal di bawah mikroskop sedemikian rupa sehingga tidak dapat dinekal dengan metoda-metoda optik. Pengenalan material penyusun serpih harus didasarkan pada hasil-hasil analisis komposisi kimia atau pada teknik-teknik penelitian khusus, misalnya difraksi sinar-X dan differential thermal analysis. Metoda-metoda itupun sebenarnya gagal untuk memberikan semua data yang relevan dan diperlukan untuk analisis petrografi. Karena itu, pemerian, penggolongan, dan penafsiran serpih dan argilit dewasa ini belum memadai dan belum lengkap.

Walau demikian, endapan argilit memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Banyak lempung dan sebagian serpih merupakan bahan dasar untuk membuat batubata, tegel, genteng, gerabah, dan alat-alat yang dibuat dari keramik. Serpih lempung (clay shale), apabila dicampur dengan batugamping dalam proporsi tertentu, dibakar, dan diolah untuk menghasilkan semen portland. Sebagian lempung yang memiliki nilai kemurnian tinggi dapat berperan sebagai filler untuk kertas. Sabak, yang merupakan turunan metamorfis dari serpih, dapat dipecah-pecah untuk dijadikan genteng, panel listrik, dan papan tulis. Sebagian serpih dapat didestilasi di bawah temperatur tinggi untuk menghasilkan suatu material yang, jika dikilang, menjadi bahan bakar dan bahan lailn.

Peningkatan rasa tertarik para ahli terhadap sedimen argilit terutama dipicu oleh pemahaman yang lebih baik terhadap mineral lempung. Mineral lempung (clay minerals) dapat dipahami dengan lebih baik sejalan dengan ditemukannya teknik difraktometri sinar-X dan teknik-teknik lain. Sumbangan-sumbangan pemikiran mengenai mineral lempung disajikan dalam beberapa proceedings konferensi mineral lempung (clay-mineral conference), yang dimulai sekitar 1951, dan dalam beberapa monograf seperti yang disusun oleh Grim (1968), Millot (1949, 1964), dan Carroll (1970). Secara umum, literatur lama kurang banyak membahas tentang mineral lempung dan kurang memberikan perhatian yagn memadai terhadap berbagai masalah sedimen argilit. Aspek-aspek ekonomis dari mineral lempung telah dibahas oleh Ries (1927) dan Grim (1962). Aspek-aspek lain dibahas oleh Boswell (1961). Bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai mineral lempung dipersilahkan untuk menelaah karya-karya tulis tersebut di atas serta karya-karya tulis yang disajikan di bagian akhir bab ini.

8.2 DEFINISI DAN TERMINOLOGI

Tata peristilahan yang digunakan untuk lempung dan telah dibahas panjang lebar oleh Twenhofel (1937) dan baru-baru ini oleh Clark (1954) dan Tomadin (1964).

Lempung (clay) didefinisikan sebagai suatu tanah plastis alami (meskipun sebagian lempung tidak plastis) yang disusun oleh hydrous aluminium silicate (yakni “mineral lempung”) dan material berbutir halus (lempung adalah sedimen dengan butiran-butiran yang berukuran kurang dari 0,002 atau 1/256 mm). Definisi yang didasarkan pada besar butir paling tidak memuaskan karena sebagian besar lempung komersil bukan merupakan lempung menurut definisi tersebut. Definisi yang didasarkan pada komposisi mineral juga keliru karena mineral lempung mungkin hanya menyusun 1/3 total batuan, bahkan mungkin kurang dari itu. Twenhofel (1937) menyatakan bahwa partikel-partikel kecil hendaknya didominasi oleh mineral lempung dan bahwa lempung hendaknya mengandung partikel berukuran lempung dalam jumlah yang banyak (> 50%). Menurut definisi ini, mineral lempung mungkin dapat membentuk 1/4 dari apa yang disebut sebagai lempung.

Clark (1954) mendefinisikan serpih (shale) sebagai batuan detritus yang partikel-partikel penyusunnya memiliki diameter kurang dari 1/16 mm. Dengan demikian, menurut definisi tersebut, istilah serpih mencakup baik batulanau maupun batuan yang biasa dinamakan serpih. Walau demikian, kebanyakan peneliti membagi material halus ke dalam dua kategori: lanau dan lempung yang berturut-turut menyusun batulanau dan batulempung. Udden (1914) menempatkan batas pemisah antara lanau dengan lempung pada angka 1/256 mm. Walau demikian, Krumbein & Sloss (1951) menganggap 1/100 mm lebih sesuai karena sedimen yang lebih kasar dari itu memiliki karakter lapangan yang mirip dengan batupasir (kekompakan, semen, laminasi silang-siur gelembur), sedangkan sedimen yang lebih halus dari itu memiliki karakter yang biasa dimiliki oleh serpih (slaking, plastis jika basah, dsb).

Ahli lain menggunakan parameter lain dalam penggolongan dan tatanama sedimen berbutir halus. Batulempung (claystone) adlaah lempung yang telah terkompaksi. Jika batulempung memiliki penyubanan, maka dapat disebut serpih. Walau demikian, sebagian ahli (mis. Shrock, 1948; Flawn, 1953) menggunakan istilah batulempung untuk menamakan batuan yang kurang kompak dibanding serpih.

Serpih adalah batuan yang berlaminasi atau batuan yang memperlihatkan gejala penyubanan. Istilah serpih digunakan secara terbatas pada endapan yang telah terkubur atau endapan purba. Untuk batulempung yang tidak memiliki penyubanan dan tidak berlaminasi, namun blocky dan masif, digunakan istilah batulumpur (mudstone).

Dalam pengertian yang lebih terbatas, Ingram (1953) mendefinisikan batulempung sebagai batuan masif yang mengandung lempung dalam jumlah yang lebih banyak dibanding lanau; istilah batulanau (siltstone) digunakannya untuk menamakan batuan masif yang mengandung lanau dalam jumlah yang lebih banyak dibanding lempung. Untuk menamakan batuan yang proporsi lanau dan lempungnya tidak diketahui atau tidak dapat dinyatakan secara pasti, Ingram menggunakan istilah batulumpur (mudstone). Istilah serpih lempung (clay shale), serpih lanau (silt shale), dan serpih lumpur (mud shale) diusulkan untuk menamakan berturut-turut batulempung, batulanau, dan batulumpur yang memperlihatkan gejala penyubanan.

Twenhofel (1937) memperluas pengertian batulumpur (mudstone) hingga mencakup semua kerabat batuan argilit. Sebagian ahli, termasuk Pettijohn, cenderung membatasi pengertian istilah tersebut hingga hanya mencakup batuan-batuan yang memiliki besar butir dan komposisi seperti serpih, namun tidak memperlihatkan laminasi dan/atau penyubanan (Picard, 1953).

Lanau adalah material yang diameternya antara 1/16 dan 1/256 mm atau sedimen yang mengandung partikel lanau dalam jumlah 50% atau lebih. Batulanau adalah lanau yang telah mengalami pemadatan. Sebagaimana dikemukakan oleh Krumbein & Sloss (1951), sebagian besar batuan yang diberi nama lanau di lapangan adalah lanau kasar (dengan diameter lebih dari 1/100 mm) dan, berbeda dengan serpih, umumnya diikat oleh semen kimia. Lanau dapat memiliki lapisan silang-siur skala kecil serta dapat memperlihatkan perlapisan konvolut, injeksi, dsb.

Istilah argilit digunakan dengan cara yang beragam. Twenhofel (1937) menerapkan istilah itu untuk menamakan su;atu batuan yagn berasal dari batulanau atau serpih yang telah mengalami pengompakan sehingga kekompakan argilit lebih tinggi dibanding kekompakan yang biasa dimiliki oleh batulanau atau serpih. Dengan demikian, menurut Twenhofel (1937), argilit memiliki karakter yang merupakan pertengahan antara serpih dan sabak. Grout (1932) menggunakan istilah argilit untuk menamakan lempung atau serpih yang mengeras akibat rekristalisasi dan menggunakan istilah sabak (slate) untuk batuan yang mirip dengan itu, namun memiliki gejala belahan sekunder. Flawn (1953) menggunakan istilah argilit dengan cara yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh Twenhofel (1937) serta menggunakan istilah meta-argilit (meta-argilite) untuk menamakan batuan yang mirip dengan argilit, namun telah mengalami rekristalisasi lengkap. Walau demikian, kedua istilah tersebut hanya digunakan untuk batuan yang tidak memperlihatkan belahan atau penyubanan.

Tata peristilahan yang digunakan dalam buku ini untuk batuan-batuan berbutir halus diperlihatkan pada gambar 8-1.

8.3 TEKSTUR DAN STRUKTUR

8.3.1 Besar Butir dan Kemas

Distribusi besar butir atau “komposisi mekanis” lempung dan serpih telah diteliti secara mendetil. Walau demikian, analisis besar butir material seperti itu memiliki keterbatasan. Karena berbutir halus, besar butir partikel lempung biasanya ditentukan berdasarkan metoda-metoda yang didasarkan pada kecepatan penenggelaman diferensial (differential settling velocity). Kecepatan itu sangat dipengaruhi oleh bentuk dan berat jenis partikel, selain oleh besar butirnya. Karena itu, hasil analisis seperti itu dapat menyesatkan karena besar butir yang dihitung berdasarkan kecepatan penenggelaman didasarkan pada premis bahwa partikel-partikel itu merupakan kuarsa berbentuk bola (Krumbein & Pettijohn, 1938). Selain itu, sampel yang dianalisis didispersi seluruhnya sebelum mulai dianalisis. Dispersi seperti itu, yang dilaksanakan dengan bantuan agen-agen fisika dan kimia, mungkin menyebabkan terhancurkannya atau paling tidak menyebabkan terubahnya distribusi besar butir sampel yang dianalisis. Banyak lempung, terutama lempung yang terakumulasi di laut, berada pada flokulasi parsial atau flokulasi total pada saat diendapkan. Karena itu, kurva distribusi besar butir yang diperoleh dari hasil analisis besar butir itu mungkin jauh berbeda dengan distribusi besar butir sedimen tersebut pada saat diendapkan. Batuan yang sekarang tampak sebagai lumpur homogen mungkin dahulu diendapkan sebagai agregat-agregat pelet serta mungkin terangkut dan terendapkan dalam bentuk pelet. Analisis besar butir yang biasa digunakan pada lumpur seperti itu tidak banyak memberikan informasi mengenai sejarah pengendapannya (Harrison, 1971).

Limitasi yang lebih serius ditemukan dalam serpih tua karena adanya efek diagenesis terhadap distribusi besar butir. Karena material itu berbutir halus dan karena luasnya permukaan total dari partikel-partikel penyusun batuan tersebut, serta karena ketidakstabilan sebagian mineral lempung, maka material itu rentan terhadap perubahan-perubahan diagenesis. Reorganisasi seperti itu akan banyak mengubah distribusi besar butir. Karena itu, untuk alasan tersebut, analisis besar butir lempung dan serpih harus ditafsirkan dengan ekstra hati-hati.

Hasil paling penting dari analisis besar butir, bahkan pengamatan biasa terhadap sayatan tipis batuan yang berbutir halus itu, adalah pengetahuan bahwa sebagian besar serpih mengandung lanau dalam proporsi yang sangat tinggi. Perry Farm Shale (Karbon Akhir) yang ada di Missouri, yang merupakan endapan bahari, meskipun merupakan batuan plastis, mengandung 74% berat pasir halus dan lanau, sedangkan material yang berukuran lempung hanya 14% saja, sedangkan sisanya berupa material karbonat (Keller & Ting, 1950). Serpih yang mirip dengan itu dan ditemukan di Illinois mengandung 68% lanau (Krumbein, 1938). Krynine (1948) memperkirakan bahwa serpih rata-rata mengandung sekitar 50% lanau. Penelitian-penelitian mineralogi yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa 2/3 bagian serpih berupa lanau, sedangkan 1/3 bagiannya berupa lempung. Angka-angka tersebut hampir sama dengan hasil penelitian Keller dan Ting (1950) serta Krumbein (1938). Jika memang demikian halnya, maka komposisi serpih lebih kurang sama dengan komposisi serpih yang ditemukan di Delta Mississippi (lihat tabel 8-1).

Salah satu ciri dari sebagian lempung adalah memiliki struktur pelet (Grim & Allen, 1938; Allen & Nichols, 1943; Harrison, 1971). Pelet adalah agregat mikneral lempung dan kuarsa yang membundar dan berukuran kecil serta tersebar secara tidak merata dalam matriks yang juga disusun oleh mineral lempung dan kuarsa. Pelet mungkin dapat dipisahkan dipisahkan dari matriksnya dengan menggunakan material organik. Dilihat dari ukurannya, pelet memiliki diameter 0,1-0,3 mm, meskipun dalam beberapa kasus ada juga pelet yang panjangnya beberapa milimeter. Pelet dinisbahkan pada aksi arus air; pada kasus lain, pelet itu mungkin berupa pelet kotoran (fecal pellet) (Moore, 1939; Harrison, 1971).

Sebagian batuan argilitan yang asal-usulnya berupa material residu memperlihatkan tekstur sisa yang diwarisi dari material asalnya. Contohnya adalah saprolit yang berasal dari berbagai batuan beku dan batuan metamorf yagn berbutir kasar. Dalam batuan tersebut, “hantu” mineral asal terawetkan cukup baik sedemikian rupa sehingga foliasi gneis, porfiroblas, dan gejala-gejala lain dapat terlihat. Contoh lain dari tekstur sisa (relict texture) ditemukan dalam bentonit dan material lain yang terbentuk akibat alterasi in situ pada debu vulkanik. Tekstur lain, yang bukan tekstur sisa, adalah bentuk-bentuk oolitik dan pisolitik yang berkembang dalam sebagian bauksit dan lempung diaspore. Selain itu ada juga penggantian pseudomorfis pada rangka fosil oleh monmorilonit dan tekstur rekristalisasi diagenetik, misalnya “metacryst” mika ilit dalam massa dasar ilitik yang berbutir halus. Walau demikian, sebagian besar serpih tidak memperlihatkan gejala-gejala tersebut. Sebagian besar serpih tidak berstuktur atau berlaminasi.

Serpih yang berlaminasi secara khas memperlihatkan suatu kemas yang dihasilkan oleh orientasi material mikaan yang pipih pada arah yang sejajar dengan bidnag perlapisan. Di bawah mikroskop, kecenderungan untuk terletak sejajar seperti itu dapat dengan mudah terlihat. Meskipun banyak individu kristal tidak benar-benar terletak sejajar dengan bidang perlapisan, namun sayatan pada arah yang tegak lurus terhadap bidang perlapisan memperlihatkan suatu efek pemadaman massa seolah-olah sayatan itu memotong satu kristal tunggal. Mineral-mineral pipih memiliki berkas-berkas sinar lambat yang bergetar pada arah yang sejajar dengan bidang belahannya dan, oleh karena itu, memperlihatkan pemadaman sejajar. Itulah sebabnya mengapa material-material tersebut memperlihatkan pemadaman yang lebih kurang bersamaan.

Walau demikian, dalam sebagian lempung dan serpih, mineral lempung memperlihatkan orientasi random (Keller, 1946). Hal itu mungkin terjadi karena tumbuhnya kristal autigen di beberapa tempat. Pada kasus lain, hali tu mungkin terjadi karena tidak berkesinambungannya kemas asal akibat penggalian organisme.

Lumpur yang baru diendapkan memiliki kadar air yang sangat tinggi serta memiliki porositas yang sangat tinggi. Porositas asal mungkin hingga 70-80% (Trask, 1931). Karena serpih rata-rata hanya memiliki porositas sekitar 13%, maka endapan asal telah mengalami kompaksi yang sangat hebat, pada saat mana air yang ada didalamnya terperas keluar. Bahwa penurunan volume ruang pori terjadi akibat kompaksi, bukan akibat pengisian ruang pori (sebagaimana pada kasus batupasir), diperlihatkan oleh perubahan kemas secara progresif yang cenderung menyebabkan lempeng-lempeng kecil lempung untuk makin sejajar dengan bidang perlapisan (Oertel & Curtis, 1972).

8.3.2 Penyubanan

Banyak serpih memperlihatkan penyubanan primer (primary fissility), yakni kecenderungan batuan untuk membelah atau terpisah-pisah di sepanjang bidang licin yang sejajar dengan bidang perlapisan. Sifat itu berkaitan dengan orientasi mineral mikaan yang ada dalam serpih. Sebagian serpih memiliki penyubanan yang kuat; sebagian yang lain tidak.

Alling (1945) dan Ingram (1953) mencoba untuk menetapkan suatu skala penyubanan (tabel 8-2) serta mengaitkan penyubanan dengan komposisi serpih. Sebagaimana dikemukakan oleh kedua ahli itu, peningkatan kadar material silikaan dan gampingan menyebabkan menurunnya derajat penyubanan serpih (gambar 8-2). Rubey (1931) juga mencatat bahwa penyubanan serpih memperlihatkan hubungan berbanding terbalik dengan kadar kalsium karbonat dalam serpih. Serpih yang kaya akan material organik, di lain pihak, tampaknya memiliki penyubanan yang sangat tinggi. Contohnya adalah serpih hitam (black shale). Walau demikian, serpih yang terbioturbasi dan batulumpur lanauan tidak memperlihatkan penyubanan.

Rubey (1931) juga mencatat bahwa tidak di setiap tempat gejala penyubanan sejajar dengan bidang perlapisan serta bahwa gejala penyubanan berkembang lebih baik dalam batuan tua, batuan yang kemiringannya paling curam, dan batuan yang memperlihatkan orientasi agregat paling tinggi. Penyubanan kemungkinan sebagian merupakan struktur sekunder yang muncul akibat rotasi dan pertumbuhan mineral mikaan oleh tekanan. Kasus seperti itu jelas terlihat pada sabak, dimana belahan batuan umumnya membentuk sudut yang curam terhadap bidang perlapisan.

Hal yang mungkin lebih menjadi teka-teki adalah argilit yang meskipun berlaminasi halus dan memiliki komposisi mineral seperti sabak, namun tidak memiliki penyubanan, baik pada arah yang sejajar dengan bidang perlapisan maupun pada arah yang lain.

8.3.3 Laminasi

Laminasi serpih memiliki ketebalan yang berkisar mulai dari 0,05 hingga 1,0 mm (umumnya 0,1-0,4 mm). Laminasi itu agaknya ada tiga jenis: (1) laminasi yang merupakan perselingan partikel-partikel kasar dengan partikel-partikel halus, misalnya perselingan lanau dan lempung; (2) perselingan lauh berwarna terang dengan lauh berwarna gelap yang hanya dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan kadar material organik yang ada didalamnya, dimana perbedaan kadar itu merupakan faktor yang bertanggungjawab terhadap munculnya perbedaan warna tersebut; dan (3) perselingan kalsium karbonat dengan lanau. Perselingan berbagai material tersebut agaknya terjadi akibat adanya perbedaan laju penenggelaman diferensial antara partikel-partikel penyusun serpih atau karena adanya perbedaan laju pasokan material-material tersebut ke dalam cekungan pengendapan.

Laminasi dapat disebabkan oleh badai, banjir, atau peristiwa-peristiwa lain yang tidak terlalu hebat. Laminasi juga dapat dinisbahkan pada fluktuasi pasokan material penyusun serpih, dimana fluktuasi pasokan material itu sendiri pada gilirannya dikontrol oleh musim (Bradley, 1929, 1931; Rubey, 1931). Jika laminasi yang paling tipis bersifat persisten dan tidak memperlihatkan efek-efek pengerukan, maka laminasi itu kemungkinan besar bukan terbentuk akibat badai atau arus dasar. Karena banyak laminasi memiliki ketebalan yang sesuai dengan nilai ketebalan yang diperlihatkan oleh laju sedimentasi sebagaimana yang diperkirakan terjadi di masa lalu dan karena nilai ketebalan itu mirip dengan nilai ketebalan yang teramati dalam sedimentasi masa kini serta kiarena laminasi itu memiliki struiktur yang mirip dengan laminasi tahunan yang terbentuk pada masa sekarang, maka banyak laminasi serpih kemungkinan besar merupakan laminasi tahunan (warwa) serta tergatnung pada siklus iklim tahunan. Daur iklim itu mempengaruhi temperatur, salinittas, kadar garam air, serta pembentukan plankton secara musiman.

Ketidakhadiran laminasi, yang seringkali terjadi, dalam beberapa hal lebih jelas terlihat dibanding laminasi itu sendiri. Sedimentasi yang sangat seragam pada suatu rentang waktu yang sangat panjang dapat menghasilkan sedimen yang tidak memiliki struktur sedimen. Hal yang agaknya lebih mungkin menjadi faktor penyebab tidak munculnya struktur dalam endapan tertentu adalah perombakan dan pemakanan lumpur oleh organisme bentonik pemakan bangkai (Dapples, 1942; Moore & Scruton, 1957). Pada kasus yang disebut terakhir ini, biasa kita masih dapat menemukan sisa-sisa laminasi yang tidak terombakkan.

8.3.4 Konkresi dan Struktur Lain

Serpih dan batulanau umumnya mengandung konkresi. Konkresi gampingan, yang agak pipih dan terletak lebih kurang sejajar dengan bidang perlapisan serta konkresi yang terletak pada bidang perlapisan, sering ditemukan dalam serpih. Konkresi paling sering terlihat dalam perselingan lanau atau batulanau. Serpih hitam cenderung mengandung lapisan cone-in-cone dan, dalam kasus istimewa, nodul dan lapisan rijang. Dalam banyak serpih tidak jarang ditemukan nodul septaria (septarian nodule) dan konkresi lempung batubesi (clay ironstone concretion). Semua struktur ini akan dibahas secara khusus pada Bab 12.

8.4 KOMPOSISI MINERAL DARI SERPIH DAN ARGILIT

Komposisi lempung dan serpih yang telah terangkut sangat kompleks dan beragam karena material itu disusun oleh produk abrasi (terutama lanau), produk-akhir pelapukan (lempung residu), serta tambahan material kimia atau biokimia (lihat gambar 8-3). Material kimia tambahan itu dapat berupa material yang dipresipitasikan dari larutan dan diendapkan dalam waktu yang bersamaan dengan lempung yang terakumulasi, misalnya kalsium karbonat, atau merupakan material yang terbentuk kemudian akibat adanya reaksi atau pertukaran antara material penyusun lempung dan serpih dengan medium yang ada disekelilingnya (biasanya air laut), misalnya kalium dan magnesium. Beberapa varietas atau subkelas serpih pada dasarnya tergantung pada kebenaan relatif beberapa sumber yang turut menyumbangkan materialnya sebagai bahan pembentuk dasar serpiht ersebut. Karena itu, baik komposisi mineral maupun komposisi kimia lempung dan serpih sangat bervariasi. Jenis dan proporsi lanau yang merupakan material mekanis tergantung pada relief dan iklim daerah sumber. Jika material sepertii tu tidak hadir atau jarang, batulumpur akan kaya akan material residu dan, di bawah kondisi-kondisi yang sesuai, dapat kaya akan presipitat seperti kalsit, aragonit, siderit, chamosit, silika, dan material organik.

Kehalusan partikel menyebabkan proses penentuan jenis mineral penyusun serpih menjadi sukar untuk dilaksanakan. Di bawah mikroskop, hanya partikel-partikel yagn relatif besar saja (partikel-partikel yang berukuran > 0,01 mm) yang dapat dikenal dengan cukup pasti. Partikel-partikel itu praktis sama dengan partikel-partikel yang ditemukan dalam lanau atau batupasir halus. Residu penyusun serpih adalah suatu pasta yang tidak dapat dikenal di bawah mikroskop biasa. Fraksi halus dapat dipisahkan dan diletakkan di atas difraktometer sinar-X sedemikian rupa sehingga material penyusunnya akan dapat dikenal dan proporsinya akan dapat diperkirakan. Dengan mengetahui jenis-jenis mineral yang ada, maka kita akan dapat menghitung kemungkinan komposisi mineral suatu lempung atau serpih berdasarkan hasil analisis kimia (Imbrie & Poldervaart, 1959; Nicholls, 1962; Miesch, 1962). Perhitungan-perhitungan seperti itu memperlihatkan bahwa fraksi kasar sebagian besar berupa kuarsa dan felspar, sedangkan fraksi halus kaya akan mineral lempung, mika lempung, klorit, dan berbagai jenis hidroksida besi.

8.4.1 Mineral Lempung

8.4.1.1 Komposisi dan Struktur

Ketika silikat dari batuan kristalin primer terdekomposisi akibat pelapukan, mereka antara lain akan menghasilkan sekelompok mineral yang dinamakan mineral lempung (clay minerals). Mineral lempung adalah silikat aluminium yang terhidrasi dengan replacement umumnya berupa besi dan magnesium. Mineral lempung berbutir halus, umumnya memiliki ukuran < 5 mikron (dalam beberapa kasus berukuran 1 mikron). Mineral itu tidak hanya muncul dalam lempung residu yang terbentuk akibat dekomposisi in situp pada material asal, namun juga dapat terangkut dan terendapkan sebagai sedimen. Mineral lempung menjadi material penyusun penting dari lempung dan serpih serta menyebabkan munculnya sifat-sifat yang khas pada lempung dan serpih. Dalam batugamping argilitan, mineral lempung juga dapat bercampur dengan karbonat. Dalam beberapa batupasir, mineral lempung dapat bercampur dengan material rombakan berukuran pasir.

Karena butirannya sangat halus, mineral lempung sukar untuk dikenal. Identifikasi positif jarang dapat dilakukan hanya dari sayatan tipis saja. Teknik-teknik khusus untuk mengisolasikan mineral lempung dan pemelajarannya dengan cara-cara kimia, optik, sinar-X, dan teknik-teknik lain diperlukan untuk memastikan jenisnya (Carroll, 1970).

Mineral lempung yang umum ditemukan dalam serpih adalah filosilikat. Maksudnya, mineral lempung itu memiliki struktur lembaran yang agak mirip dengan mika. Mineral filosilikat itu terdiri dari dua tipe lapisan (gambar 8-4). Satu lapisan adalah lapisan tetrahedra silika yang terdiri dari kelompok-kelompok SiO4 yang satu sama lain dihubungkan untuk membentuk suatu kerangka heksagonal, dimana komposisi Si4O10 berulang-ulang secara tidak terhingga. Lapisan kedua adalah lapisan alumina atau aluminium hidroksida yang terdiri dari lapisan-lapisan oksigen atau hidroksil yang terbandelakan secara ketat, diantara lapisan-lapisan mana atom-atom aluminium yang tersusun secara oktahedral tersisip dalam posisi tertentu sedemikian rupa sehingga atom-atom aluminium itu terletak pada jarak yang sama dari enam atom oksigen atau enam hidroksil yang mengelilingnya. Sebenarnya, hanya 2/3 posisi aluminium saja yang terisi dalam lapisan itu. Struktur seperti itu dinamakan struktur gibbsit (gibbsite structure).

Mineral lempung dapat dibedakan menjadi dua kategori utama. Dalam Kelompok kaolinit (kaolinte group), mineral dicirikan oleh kisi-kisi dua lapisan (lapisan 1 : 1) yang terdiri dari satu oktahedral atau satu lapisan gibbsit yang dihubungkan dengan satu lapisan tetrahedra silika. Kisi-kisi ini tidak memuai sejalan dengan kadar air yang ada didalamnya serta hingga dewasa ini tidak pernah ditemukan kasus yang memperlihatkan terjadinyap enggantian aluminium oleh besi atau magnesium dalam struktur gibbsit. Kategori kedua dari mineral lempung adalah kelompok yang dicirikan oleh kisi-kisi tiga lapisan (2 : 1). Dalam kisi-kisi tersebut, suatu lapisan alumina oktahedral diapit oleh dua lapisan silika tetrahedral. Beberapa mineral lempung yang penting termasuk ke dalam kategori ini. Dalam monmorilonit, satuan-satuan tiga lapisan itu saling berikatan dengan relatif lemah pada arah-c, dimana diantara satuan-satuan itu terdapat air dan kation. Jumlah air dalam mineral lempung tersebut dapat bervariasi sedemikian rupa sehingga dimensi-c bervariasi, mulai dari 9,6 hingga 21,4 angstrom. Mineral ini dikatakan memiliki kisi-kisi yang mampu memuai. Lapisan tiga-satuan juga dapat diikatkan oleh kalium yang, karena memiliki diameter atom dan kapasitas koordinasi yang sesuai, dapat mengikat struktur sedemikian ketat sehingga tidak mungkin terjadi pemuaian. Mika lempung yang terbentuk adalah ilit. Kelompok klorit juga memiliki struktur tiga lapisan yang dicirikan oleh lapisan brucit, Mg(OH)2, diantara satuan tiga-lapisan. Banyak varietas komposisi yang mungkin muncul dalam setiap kelompok struktur. Meskipun banyak kelompok struktur itu yang mendapatkan nama tersendiri, sebagai varietas-varietas yang didasarkan pada komposisi, namun kita dapat secara umum menganggap bahwa setiap kelompok itu memperlihatkan kisaran komposisi yang lebar dan tidak tertentu. Mineral lempung digolongkan terutama berdasrkan strukturnya (gambar 8-4).

Dengan demikian, kelompok mineral lempung utama adalah kelompok kaolinit, kelompok monmorilonit, kelompok ilit atau kelompok muskovit, dan kelompok klorit. Anggota utama dari kelompok kaolinit adalah kaolinit yang memiliki komposisi (OH)8Al4Si4O10. Anauxite, yang mirip dengan kaolonit dengan pengecualian nisbah molekuler SiO2 : Al2O3 sekitar 3 (bukan 2), jauh lebih jarang ditemukan dibanding kaolinit. Dickite dan nacrite, yang komposisinya mirip dengan kaolinit namun memiliki bentuk kristal yang sedikit berbeda, juga merupakan anggota dari kelompok kaolinit. Walau demikian, dickite dan nacrite jarang ditemukan dalam sedimen.

Kelompok monmorilonit, yang dinamakan berdasarkan anggota utama dari kelompok tersebut (yakni monmorilonit), memiliki komposisi (OH)4Al4Si8O10▪nH2O. Magnesium umumnya menggantikan aluminium dalam kisi-kisi mineral tersebut. Beidellite, yang memiliki nisbah molekuler SiO2 : Al2O3 yang berharga 3, serta nontronite, di dalam mineral mana ferric iron menggantikan aluminium, juga dimasukkan ke dalam kelompok monmorinolit.

Kelompok ilit, atau kelompok mika lempung, mencakup ilit yang memiliki rumus umum (OH)4Ky(Al4▪Fe4▪Mg4▪Mg6)(Si8-y▪Aly)O20 dengan y bervariasi mulai dari 1 hingga 1,5. Ilit berkaitan dengan mika putih, namun mungkin berbeda karena mengandung lebih sedikit kalium dan lebih banyak mengandung air dibanding mika. Selain berbagai tipe ilit, kelompok ilit juga mencakup glaukonit (Burst, 1958).

Kelompok klorit terdiri dari mineral-mineral yang kaya akan magnesium serta banyak ditemukan dalam serpih. Kelompok kloirt juga banyak mengandung ion-ion besi.

Para ahli banyak mengenal mineral lempung “lapisan-campuran”. Struktur kelompok ini merupakan hasil penumpukan satuan-satuan mineral lempung dasar, baik tumpukan yang teratur maupun tumpukan random. Tumpukan itu terjadi pada arah yang sejajar dengan sumbu-c. Sebagian mineral merupakan perselingan antara mineral lempung dua lapisan dengan mineral lempung tiga lapisan. Tipe-tipe mineral lapisan-campuran seperti itu biasanya tidak diberi nama tersendiri, namun penamaannya didasarkan pada satuan-satuan mineral lempung pembentuknya, misalnya mineral kaolinit-ilit, klorit-ilit, dsb.

Selain kelompok-kelompok mineral lempung utama sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, ada juga sejumlah mineral lempung yang relatif jarang ditemukan dan memiliki struktur kristal yang agak berbeda. Mineral-mineral itu antara lain halloysit yang memiliki rumus kimia (OH)16Al4Si4O6, metahalloysit yang memiliki rumus kimia (OH)8Al4Si4O10, allofan (allophane) yang merupakan suatu mutual solution dari silika, alumina, dan air dalam proporsi yang beragam. Allofan tidak memiliki struktur kristalin. Selain itu ada juga sejumlah mineral yang ditemukan dalam lempung, misalnya vermiculite dan palygorskite (sepiolit dan attapulgite). Tidak satupun diantara mineral lempung minor tersebut di atas ditemukan dalam serpih.

8.4.1.2 Pertukaran Basa

Pertukaran basa adalah masuknya ion-ion dari larutan ke dalam zat padat untuk menggantikan posisi ion-ion yang semula menyusun zat padat tersebut. Dengan demikian, sewaktu bersentuhan dengan suatu zat padat, larutan akan mengalami perubahan sebagaimana yang dialami oleh zat padat, namun perubahan yang dialami oleh larutan itu terbalik dengan perubahan yang dialami zat padat tersebut. Mineral lempung memperlihatkan sifat tersebut dengan tingkat yang beragam. Secara umum, monmorilonit memperlihatkan kapasitas pertukaran basa yang besar, sedangkan kaolinit hanya memiliki kapasitas pertukaran basa yang kecil. Ilit memiliki kapasitas pertukaran basa pertengahan.

Ion yang dapat dipertukarkan hanya dapat digantikan oleh ion lain. Ion tersebut tidak dapat lepas begitu saja secara bebas menuju larutan. Mekanisme eksak dari pertukaran itu belum dapat dipahami sepenuhnya. Ada sejumlah konsep lain yang dapat dipandang sebagai tandingan dari konsep pertukaran basa. Untuk mengetahui konsep-konsep yang disebutkan terakhir ini, para pembaca dipersilahkan untuk menelaah makalah yang disusun oleh Kelley (1939, 1942) dan Grim (1953, 1968).

8.4.1.3 Keberadaan dan Asal-Usul Mineral Lempung

Meskipun mineralogi lempung dewasa ini telah mulai dapat dipahami, namun geologi material ini masih jauh dari jelas. Keberadaan, asal-usul, dan transformasi mineral lempung belum dapat dipahami sepenuhnya. Mineral lempung sebagian besar terbentuk akibat pelapukan silikat aluminium, namun masih mungkin dapat terbentuk dalam lingkungan sedimentasi (pada tahap awal diagenesis) atau pada lingkungan pasca-penguburan (pada tahap diagenesis lanjut). Sebagian mineral lempung merupakan produk proses-proses hidrotermal. Sebagian lagi dapat terbentuk akibat presipitasi dari larutan ion dan akibat kristalisasi suatu gel. Keller (1970) telah menyusun sebuah kajian mengenai proses-proses yang menyebabkan terbentuknya mineral lempung.

Secara umum, mineral lempung tampaknya terbentuk akibat alterasi mineral yang telah ada sebelumnya. Hal itu terutama terjadi untuk mineral lempung yang terbentuk dalam profil tanah. Kaolinit, monmorilonit, dan ilit tampaknya terbentuk akibat pelapukan berbagai jenis batuan di bawah kondisi iklim yang beragam. Setiap silikat aluminium dapat menghasilkan kaolin akibat pelapukan yang menyebabkan terlepasnya K, Na, Ca, Mg, dan ferrous iron serta penambahan hidrogen (Keller, 1970, h. 797). Kaolin dapat terbentuk dari granit, sedangkan gabro cenderung menghasilkan mineral-mineral yang termasuk ke dalam kelompok monmorilonit. Silikat-K dan silikat-Na yang terbentuk akibat hidrolisis alkali felspar sangat mudah larut dan terlindi, sedangkan Ca, Mg, dan Fe cenderung berkombinasi dengan silika untuk membentuk monmorilonit. Kaolinitasisi dipicu terjadi pada lingkungan “asam”, misalnya pada lingkungan air tawar. Monmorilonit umumnya berasal dari batuan kalsik-mafik, termasuk debu vulkanik, pada lingkungan yang menunjang penyimpanan logam bivalen dan asam silikat. Kondisi-kondisi seperti itu dipicu oleh kondisi basa. Kondisi-kondisi pembentukan ilit dalam profil tanah kurang begitu dapat dipahami. Jumlah kalium yang memadai diperlukan untuk pembentukan ilit. Alterasi in situ terhadap felspar untuk menjadi ilit telah dapat dipahami.

Berbagai mineral lempung, apapun material sumbernya dan bagaimanapun geokimia lingkungan pembentukannya, dapat diangkut dan diendapkan pada lingkungan yang ciri-cirinya jauh berbeda dengan ciri-ciri lingkungan pembentukannya. Sebagian ahli petrologi berkeyakinan bahwa mineral lempung sangat rentan terhadap perubahan dan akan melakukan peneraan-diri terhaap lingkungan yang baru. Perubahan-perubahan tahap lanjut dapat terjadi selama terkubur sejalan dengan meningkatnya tekanan dan temperatur. Perubahan yang lain lagi akan terjadi apabila batuan tersebut memasuki wilayah metamorfisme. Akibat erosi dan penyingkapan, batuan itu juga mengalami perubahan lagi. Perubahan-perubahan tersebut, dan efeknya terhadap mineralogi, akan dibahas dalam bagian 8.7.

8.4.2 Mineral Lain Penyusun Serpih

Sebagaimana telah dikemukan sebelumnya, sebagian besar serpih mengandung sejumlah besar fraksi lanau. Sebagian besar partikel yang berukuran lanau itu berupa kuarsa. Felspar dapat hadir sebagai partikel berukuran lanau dalam jumlah yang lebih rendah dibanding kuarsa. Mineral-mineral tersebut telah dibahas dalam Bab 7. Salah satu material penyusun serpih yang bukan merupakan material detritus adalah karbonat biokimia. Material ini akan dijelaskan pada Bab 10. Berbagai mineral pengandung besi, termasuk didalamnya glaukonit, gelas vulkanik, silika biogenik, dan material fosfatik, yang dapat bercampur dengan material lain yang biasanya menyusun serpih, akan dijelaskan pada bagian-bagian lain dari buku ini.

Salah satu hasil penelitian yang menarik untuk dikaji adalah mengenai medan stabilitas mineral pengandung besi, dalam arti kata potensi redoks (Eh) lingkungan pengendapan (Krumbein & Garrels, 1952; James, 1954). Sulfida besi (terutama yang berupa pirit), karbonat besi (siderit), silikat besi (klorit, chamosit, dan glaukonit yang kaya akan besi), serta oksida besi (hematit) membentuk suatu deretan mineral yang berkorelasi dengan pneningkatan potensi oksidasi. Kehadiran mineral-mineral tersebut, sekalipun dalam jumlah yang kecil, jika benar-benar merupakan material yang terbentuk pada saat terjadinya sedimentasi, merupakan indikator dari kondisi oksidasi dari lingkungan pengendapan. Walau demikian, mineral-mineral tersebut dapat terbentuk pada lingkungan diagenetik, mungkin setelah sedimennya terkubur oleh sedimen yang lebih muda. Karena itu, sebelum memanfaatkan kehadiran mineral-mineral tersebut sebagai indikator kondisi oksidasi, kita perlu memastikan terlebih dahulu saat-saat pembentukannya.

Keasaman (pH) serpih diyakini sama dengan keasaman air yang ada dalam lingkungan pengendapan (Shukri, 1942; Millot, 1964). Serpih air tawar dikatakan memiliki pH rata-rata 4,7, sedangkan pH rata-rata dari serpih yang diendapkan pada lingkungan laut, laguna, dan danau penghasil gamping adalah sekitar 7,8.

8.4.3 Serpih Rata-Rata

Komposisi mineral rata-rata dari serpih, sebagaimana yang ditentukan dengan berbagai metoda penelitian, diperlihatkan pada tabel 8-3. Perbedaan-perbedaan yang muncul antara hasil taksiran di masa lalu dengan hasil-hasil perhitungan yang dikemukakan oleh para ahli akhir-akhir ini muncul sejalan dengan makin dipahaminya mineral lempung. Banyak unsur kimia yagn semula dinisbahkan pada felspar, oksida besi, dan mineral penyusun lain sekarang ini diketahui ternyata seharusnya dinisbahkan pada minera lempung. Persentase kadar mineral lempung terutama sangat tinggi dalam hasil-hasil analisis terbaru karena peningkatan pemahaman para ahli terhadap mineral lempung dan sebagian lainnya karena serpih lanauan dikeluarkan dari sampel. Walau demikian, tingginya kadar kuarsa menyokong pendapat lama yang menyatakan bahwa serpih pada umumnya banyak mengandung lanau (sekitar 40% atau lebih).

Karena modal analyses serpih sangat sukar untuk dilakukan, maka tidak banyak hasil analisis seperti itu yang dipublikasikan. Usaha yang paling kuat untuk mendapatkan nilai taksiran kuantitatif mengenai komposisi serpih dilakukan oleh Shaw & Weaver (1965) yang menggunakan teknik penyerapan-difrasi sinar-X. Hasil analisis terhadap sekitar 300 sampel serpih Paleozoikum dan serpih lain yang lebih muda daripadanya menunjukkan bahwa kadar kuarsa berkisar mulai kurang dari 10% hingga mendekati 80% dengan nilai rata-rata sekitar 34%; kadar felspar bervariasi mulai dari sekitar 0% hingga sekitar 30%, dengan rata-rata sekitar 3,6%. Dalam semua serpih yang dianalisis, karbonat umumnya tidak ada, dengan nilai rata-rata 2,7%, meskipun ada juga serpih yang mengandung lebih dari 50%. Kadar mineral lempung (yang diperoleh dari hasil pengurangan) rata-rata sekitar 64%, meskipun kisarannya mulai dari 50% hingga sekitar 90%. Untuk membandingkan komposisi mineral dengan komposisi kimia ruah dari serpih, perhatikan tabel 8-5. Serpih Paleozoikum di Illinois (Grim dkk, 1957) umumnya memiliki karakter yang mirip dengan apa yang tercantum dalam tabel tersebut.

Karena komposisi mineral dari fraksi lanau berbeda dengan komposisi mineral dari fraksi lempung, maka jelas sudah bahwa komposisi kimia dari serpih sangat tergantung pada teksturnya. Hubungan antara besar butir dengan komposisi terlukis dengan jelas dalam hasil analisis kimia terhadap fraksi lanau dan fraksi lempung yang dipisahkan secara artifisial oleh Grout (1925). Perhatikan pula tabel 8-4. Jika fraksi halus disusun oleh mineral-mineral yang sama sebagaimana yang ditemukan dalam fraksi yang relatif kasar (meskipun proporsinya berbeda), maka kita masih mungkin untuk menghitung komposisi mineral dari setiap fraksi. Hasil-hasil perhitungan seperti itu disajikan pada tabel 8-5. Sebagaimana yang terlihat dari tabel tersebut, fraksi halus lebih miskin akan kuarsa dan lebih kaya akan mineral lempung (kaolinit, serisit, paragonit, dan oksida besi). Perbedaan mineralogi tersebut berkorelasi baik dengan perbedaan komposisi kimia dari material tersebut.

8.5 KOMPOSISI KIMIA

Analisis kimia masih tetap merupakan sumber informasi utama untuk komposisi serpih.

Silika merupakan material penyusun utama dari semua lempung dan serpih. Silika dapat hadir sebagai bagian dari kompleks mineral lempung, sebagai silikat detritus yang tidak terdekomposisi, dan sebagai silika bebas (baik dalam bentuk kuarsa detritus maupun silika hasil presipitasi biokimia seperti opal yang pembentukannya dipengaruhi oleh radiolaria, diatom, dan spikula. Alumina merupakan material penting yang menyusun kompleks mineral lempung dan sebagai suatu komponen dari silikat detritus yang tidak terlapukkan (terutama berupa felspar). Tingginya kadar alumina dalam serpih mengindikasikan bahwa kehadiran aluminium hidrat bebas (diaspore) atau bauksit. Besi dalam serpih muncul sebagai pigmen oksida, sebagai bagian dari zat kloritik, serta sebagai pirit, markasit, siderit, atau silikat besi. Kondisi oksidasi dari besi sangat mempengaruhi warna serpih (gambar 8-9). Magnesium muncul dalam kompleks klorit atau sebagai komponen dari dolomit. Kapur muncul dalam bentuk senyawa karbonat dan, oleh karena itu, akan terdapat dalam silikat yang tidak terlapukkan atau dalam bentuk gipsum. Sebagian alkali muncul dalam silikat detritus yang tidak terlapukkan (terutama felspar). Kalium diserap oleh mineral lempung yang ada dalam serpih dan merupakan material penyusun ilit atau mika lempung. Kalium juga dapat hadir dalam glaukonit. Unsur minor yang mungkin ada dalam serpih adalah titanium (misalnya dalam rutil), mangan, fosfor, dan material organik.

Penafsiran hasil-hasil analisis kimia serpih sukar untuk dilakukan karena, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, komposisi kimia tergantung pada besar butir, kematangan sedimen, dan restorasi oleh proses-proses kimia atau biokimia yang dialami oleh berbagai unsur yang hilang akibat pelapukan selama berlangsungnya pembentukan tanah residu yang menjadi sumber dari serpih.

Efek besar butir terhadap komposisi kimia terlukis dengan jelas dari hasil pembandingan hasil analisis fraksi lanau dalam endapan musim panas dengan fraksi lempung dalam endapan musim dingin yang ada dalam warwa (lihat tabel 8-6A dan 8-6B). Pada kasus itu, kematangan dan sejarah pasca-pengendapan dari material tersbut identik sedemikian rupa sehingga perbedaan komposisi seluruhnya berkaitan dengan perbedaan besar butir. Sebagaimana yang dapat dilihat dari tabel-tabel tersebut, fraksi kasar lebih kaya akan silika, sedangkan fraksi halus lebih kaya akan alumina, besi, kalium, dan air. Perbedaan tersebut tidak diragukan lagi mencerminkan pengayaan kuarsa detritus dalam fraksi lanau dan pengayaan mineral lempung dalam fraksi halus.

Komposisi rata-rata dari serpih (tabel 8-7A) memiliki karakter yang berbeda dari komposisi lempung residu. Perbedaan itu sebagian dinisbahkan pada besar butir. Penelaahan terhadap hasil-hasil analisis yang dilakukan oleh Grout (tabel 8-4) pada sejumlah fraksi besar butir yang ada dalam lempung mengindikasikan bahwa serpih rata-rata mengandung dua bagian lanau dan satu bagian lempung. Campuran seperti itu akan memiliki komposisi yang mendekati komposisi rata-rata dari serpih. Miripnya komposisi kimia serpih rata-rata dengan komposisi lempung residu (tabel 8-8)

RUJUKAN

Allen, VT. 1929. The Ione formation of California. Univ. Calif. Publ. Dept. Geol. Sci. 16:347-448.

Allen, VT. 1935. Mineral composition and origin of Missouri flint and diaspore clays. Missouri Geol. Surv. and Water Resources 58th Biennial Rept., Appendix IV. 24 h.

Allen, VT dan RL Nichols. 1943. Clay-pellet conglomerates of Hobart Butte, Lane County, Oregon. Jour. Sed. Petr. 15:25-33.

Alling, HL. 1945. Use of microlithologies as illustrated by some New York sedimentary rocks. Bull. GSA 56:737-756.

van Andel, Tj dan H Postma. 1954. Recent sediments of the Gulf of Paria. Verhandl. Koninkl. Neder. Akad. Wetensch., Afd. Natuurkunde, E. R. 20(5):1-245.

Androussow, N. 1897. La Mer noire. 7th Internat. Geol. Congr., Guide des Excursions. v. 29.

Athy, LF. 1930. Density, porosity, and compaction of sedimentary rocks. Bull. AAPG 14:1-35.

Barbour, GB. 1927. The loess of China. Smithsonian Inst. Ann. Rept. 1926. Hlm. 279-296.

Bastin, ES. 1909. Chemical composition as a criterion in identifying metamorphosed sediments. Jour. Geol. 17:445-472.

Bates, FT dan EO Strahl. 1957. Mineralogy, petrography and radioactivity of representative samples of Chattanooga Shale. Bull. GSA 68:1305-1314.

Berg, RR. 1952. Felsphatized sandstone. Jour. Sed. Petr. 22:221-223.

Biscaye, P. 1965. Mineralogy and sedimentation of recent deep-sea clay in the Atlantic Ocean and adjacent seas and oceans. Bull. GSA 76:803-832.

Blatt, H. 1970. Determination of mean sediment thickness in the crust: A sedimentologic method. Bull. GSA 81:255-262.

Blatt, H dan B Sutherland. 1969. Intrastratal solution and non-opaque heavy minerals in shales. Jour. Sed. Petr. 39:591-600.

Bokman, J. 1954. Relative abundance of common sediments in Anadarko Basin, Oklahoma. Bull. AAPG 38:648-654.

Boswell, PGH. 1961. Muddy Sediments. Cambridge: Heffner. 140 h.

Bradley, WH. 1929. The varves and climate of the Green River epoch. USGS Prof. Paper 158-E. Hlm. 87-110.

Bradley, WH. 1931. Non-glacial marine varves. Amer. Jour. Sci., Ser. 5, 22:318-330.

Bramlette, MN. 1946. The Monterey Formation of California and the origin of its siliceous rocks. USGS Prof. Paper 212. 57 h.

Brock, RW. 1943. Weathering of igneous rocks near Hong Kong. Bull. GSA 54:717-738.

Burst, JF. 1958. “Glauconite” pellets: Their mineral nature and applications to stratigraphic interpretations. Bull. AAPG 42:310-327.

Burst, JF. 1969. Diagenesis of Gulf Coast clayey sediments and its possible relation to petroleum migration. Bull. AAPG 53:73-93.

Byers, HG, CE Kellogg, MS Anderson, dan J Thorp. 1938. Formation of soil. Dalam: Soils and Men. USDA Yearbook. Hlm. 948-978.

Campbell, FA dan TA Oliver. 1968. Mineralogic and chemical composition of Ireton and Duvernay formations, central Alberta. Bull. Can. Petrol. Geol. 16:40-63.

Carozzi, AV. 1960. Microscopic Sedimentary Petrography. New York: Wiley. 485 h.

Carroll, D. 1970. Clay minerals: A guide to their x-ray identification. GSA Spec. Pap. 126. 80 h.

Clark, TH. 1954. Shale: A study in nomenclature. Trans. Roy. Soc. Canada Ser. 3, Sect. 4, 48:1-7.

Clarke, FW. 1924. Data of geochemistry. USGS Prof. Paper 770. 841 h.

Cody, RD. 1971. Adsorption and the reliability of trace elements as environmental indicators of shales. Jour. Sed. Petr. 41:461-471.

Conybeare, CEB. 1967. Influence of compaction on stratigraphic analysis. Bull. Can. Petrol. Geol. 15:331-345.

Couch, EL. 1971. Calculation of paleosalinities from boron and clay mineral data. Bull. AAPG 55:1829-1837.

Dapples, EC. 1942. The effect of micro-organisms upon near-shore marine sediments. Jour. Sed. Petr. 12:118-126.

Diller, JS. 1898. The educational series of rock specimens. Bull. USGS 150. 400 h.

Doeglas, DJ. 1949. Loess, an eolian product. Jour. Sed. Petr. 19:112-117.

Doeglas, DJ. 1952. Loess, an eolian product. Jour. Sed. Petr. 22:50-52.

Drake, AA, Jr. dan JB Epstein. 1967. The Martinsburg Formation (Middle and Upper Devonian) in the Delaware Valley, Pennsylvania-New Jersey. Bull. USGS 1244-H:H1-H16.

Drake, CL, M Ewing, dan GH Sutton. 1960. Continental margins and geosynclines: The east coast of North America north of Cape Hatteras. Dalam: Physics of the Earth. Vol. 3. New York: Pergamon. Hlm. 110-198.

Dzulynski, S dan A Radomski. 1967. Clastic dikes in Carpathian Flysch. Ann. Soc. Geol. Pologne 26:225-264.

Eckel, EC. 1904. On the chemical composition of American shales and roofing slates. Jour. Geol. 12:25-29.

Eskola, P. 1932. Conditions during the earliest geologic times. Ann. Acad. Sci. Fennicae, Ser. A, 36:5-74.

Ferguson, L. 1963. Estimation of the compation factor of a shale from distorted brachiopod shells. Jour. Sed. Petr. 33:796-798.

Ferguson, L. 1964. A comparison of two techniques for measuring shale compation. Jour. Sed. Petr. 34:694-695.

Flawn, PT. 1953. Petrographic classification of argillaceous sedimentary and low-grade metamorphic rocks in subsurface. Bull. AAPG 37:560-565.

Frarey, MJ dan SM Roscoe. 1970. The Huronian Supergroup north of Lake Huron. Dalam: Basins and Geosynclines of the Canadian Shield. Geol. Surv. Canada Paper 70-40. Hlm. 143-158.

von Gaertner, HR. 1955. Petrographische Untersuchungen am nordwestdeutchen Posidonienschiefer. Geol. Rundsch. 43:447-463.

Glinka, KD. 1927. The Great Soil Groups of the World, and Their Development. Ann. Arbon: Edwards. 235 h.

Goldich, SS. 1938. A study in rock weathering. Jour. Geol. 50:225-275.

Goldstein, A, Jr dan TA Hendricks. 1953. Siliceous sediments of Ouachita facies in Oklahoma. Bull. GSA 64:421-442.

Gordon, M dan JI Tracey. 1952. Origin of the Arkansas bauxite deposits. Dalam: Problems of Clay and Laterite Genesis. Amer. Inst. Min. Eng. Hlm. 12-34.

Grabau, AW dan M O’Connell. 1917. Were the graptolitic shales, as a rule, deep- or shallow-water deposits? Bull. GSA 28:2-5, 959.

Greensmith, JT. 1958. Preliminary observations on chemical data from some British Upper Carboniferous shales. Jour. Sed. Petr. 28:209-210.

Gregory, JW. 1930. The copper-shale (Kupferschiefer) of Mansfeld. Trans. Inst. Min. Metall. 40:1-55.

Griffin, GM. 1962. Regional clay-mineral facies—Products of weathering intensity and current distribution in the northeastern Gulf of Mexico. Bull. GSA 73:737-768.

Grim, RE. 1942. Modern concepts of clay materials. Jour. Geol. 50:225-275.

Grim, RE. 1951. The depositional environment of red and green shales. Jour. Sed. Petr. 21:226-232.

Grim, RE. 1953. Clay Mineralogy. New York: McGraw-Hill. 384 h.

Grim, RE. 1962. Applied Clay Mineralogy. New York: McGraw-Hill. 422 h.

Grim, RE. 1968. Clay Mineralogy. edisi-2. New York: McGraw-Hill. 596 h.

Grim, RE dan VT Allen. 1938. Petrology of the Pennsylvanian underclays of Illinois. Bull. GSA 49:1485-1513.

Grim, RE, WF Bradley, dan WA White. 1957. Petrology of the Paleozoic shales of Illinois. Illinois Geol. Surv. Rept. Inv. 203. 35 h.

Grim, RE, RS Dietz, dan WF Bradley. 1949. Clay mineral composition of some sediments from the Pacific Ocean off the California coast and the Gulf of California. Bull. GSA 60:1785-1808.

Grim, RE dan WD Johns. 1954. Clay-mineral investigation of sediments in the northern Gulf of Mexico. Proc. 2nd Nat. Conf. Clay and Clay Minerals. Nat. Acad. Sci., Nat. Res. Council Publ. 327. Hlm. 81-109.

Grout, FF. 1919. Clays and shales of Minnesota. Bull. USGS 678. 259 h.

Grout, FF. 1925. Relation of texture and composition of clays. Bull. GSA 36:393-416.

Grout, FF. 1932. Petrography and Petrology. New York: McGraw-Hill. 522 h.

Gruner, JW dan GA Thiel. 1937. The occurence of fine grained authigenic feldspar in shales and silts. Amer. Mineral. 22:842-846.

Harrison, JB. 1934. The Katastrophism of Igneous Rocks Under Humid Tropical Conditions. Harpenden, Eng., Imperial Bur. Soil Sci. 79 h.

Harrison, SC. 1971. The Sediments and Sedimentary Processes of the Holocene Tidal Flat Complex, Delmarva Peninsula, Virginia. Disertasi PhD. Johns Hopkins University. 202 h.

Hedberg, HD. 1926. The effect of gravitational compaction on the strucutre of sedimentary rocks. Bull. AAPG 10:1035-1072.

Hedberg, HD. 1936. Gravitational compaction of clays and shales. Amer. Jour. Sci., Ser. 5, 31:241-281.

Holmes, A. 1937. The Age of the Earth. London: Nelson. 196 h.

Hoofs, HW. 1931. Geology of the eastern part of the Santa Monica Mountains, Los Angeles County, Calif. USGS Prof. Paper 165. Hlm. 83-134.

Hough, JL. 1934. Redeposition of microscopic Devonian plant fossils. Jour. Geol. 42:646-648.

Hunt, CB. 1972. Geology of Soils: Their Evolution, Classification, and Uses. San Fransisco: Freeman. 344 h.

Imbrie, J dan A Poldervaart. 1959. Mineral composition calculated from chemical analyses of sedimentary rocks. Jour. Sed. Petr. 29:588-595.

Ingram, RL. 1953. Fissility of mudrocks. Bull. GSA 64:869-878.

James, HL. 1951. Iron formation and associated rocks in the Iron River District, Michigan. Bull. GSA 62:251-266.

James, HL. 1954. Sedimentary facies of iron-formation. Econ. Geol. 49:236-293.

James, HL, CE Dutton, FJ Pettijohn, dan KL Wier. 1968. Geology and ore deposits of the Iron River-Crystal Fall District, Iron County, Michigan. USGS Prof. Paper 570. 184 h.

Jones, OT. 1938. On the evolution of a geosyncline. Proc. Geol. Soc. London 94:lx-cx.

Jones, OT. 1944. The compaction of muddy sediments. Quart. Jour. Geol. Soc. London 100:137-160.

Kay, GF dan JN Pearce. 1920. The origin of gumbotil. Jour. Geol. 28:89-125.

Keller, WD. 1946. Evidence of texture of the origin of the Cheltenham fire clay of Missouri and associated shales. Jour. Sed. Petr. 16:63-91.

Keller, WD. 1970. Environmental aspects of clay minerals. Jour. Sed. Petr. 40:788-813.

Keller, WD dan CP Ting. 1950. The petrology of a specimen of the Perry Farm Shale. Jour. Sed. Petr. 20:123-132.

Kelley, WP. 1939. Base exchange in relation to sediments. Dalam: PD Trask (ed.) Recent Marine Sediments. Tulsa: AAPG. Hlm. 454-465.

Kelley, WP. 1942. Modern clay researches in relation to agriculture. Jour. Geol. 50:307-315.

Kennedy, WQ. 1951. Sedimentary differentiation as a factor in the Moine-Torridonian correlation. Geol. Mag. 88:257-266.

Krumbein, WC. 1937. Sediments and exponential curves. Jour. Geol. 45:577-601.

Krumbein, WC. 1938. Size frequency distributions of sediments and the normal phi curve. Jour. Sed. Petr. 8:84-90.

Krumbein, WC dan RM Garrels. 1952. Origin and classification of chemical sediments in terms of pH and oxidation-reduction potentials. Jour. Geol. 60:1-33.

Krumbein, WC dan FJ Pettijohn. 1938. Manual of Sedimentary Petrology. New York: Plenum. 549 h.

Krumbein, WC dan LL Sloss. 1951. Stratigraphy and Sedimentation. San Francisco: Freeman. 497 h.

Krynine, PD. 1948. The megascopic study and field classification of sedimentary rocks. Jour. Geol. 56:130-165.

Kuenen, PH. 1941. Geochemical calculations concerning the total mass of sediments in the earth. Amer. Jour. Sci. 239:161-190.

Kuenen, PH. 1969. Origin of quartz silt. Jour. Sed. Petr. 39:1631-1633.

Lamborn, RE, CR Austin, dan D Schaaf. 1938. Shales and surface clays of Ohio. Ohio Geol. Surv. Bull., Ser. 4, 39. 281 h.

Lane, AC. 1911. The Keweenaw serise of Michigan. Michigan Geol. Surv. Publ. 6. 2 jilid. 983 h.

Laprade, KE. 1957. Dust storm sediments of Lubbock area, Texas. Bull. AAPG 41:709-726.

Leighton, MM. 1930. Weathered zones of the drift-sheets of Illinois. Jour. Geol. 38:28-53.

Leith, CK dan WJ Mead. 1915. Metamorphic Geology. New York: Holt, Rinehart and Winston. 337 h.

Lemcke, K, W von Engelhardt, dan H Füchtbauer. 1953. Geologische und sediment-petrographische Untersuchungen im Westteil der ungefalten Molasse des suddeutchen Alpenvorlandes. Beitr. Geol. Jahrb. 11. 108 h.

MacCarthy, GR. 1926. Colors produced by iron in minerals and the sediments. Amer. Jour. Sci., Ser. 5, 12:17-36.

McKee, ED dan GW Weir. 1953. Terminology of stratification and cross-stratification. Bull. GSA 64:381-390.

McNamara, MJ. 1966. The paragenesis of Swedish glacial clays. Geol. Fören. Stockholm Förh. 87:441-454.

Miesch, AT. 1962. Computing mineral composition of sedimentary rocks from chemical analyses. Jour. Sed. Petr. 32:217-225.

Miller, WG. 1905. The cobalt-nickel arsenides and silver deposits of Temiskaming. Ontario Bur. Mines Ann. Rept., v. 14, Pt. 2. 66 h.

Millot, G. 1949. Relations entre la constitution et la genèse des roches sedimentaires argileuses. Géol. Appliq. Prosp. Min. 2:1-352.

Millot, G. 1964. Géologie de Argiles. Paris: Masson. 499 h.

Millot, G. 1970. Geology of Clays. New York: Springer. 429 h.

Milne, IH dan JW Earley. 1958. Effect of source and environment on clay minerals. Bull. AAPG 42:328-338.

Moore, DG. 1939. Faecal pellets in relation to marine deposits. Dalam: PD Trask (ed.) Recent Marine Sediments. Tulsa: AAPG. Hlm. 516-524.

Moore, DG dan PC Scruton. 1957. Minor internal structures of some Recent unconsolidated sediments. Bull. AAPG 41:2723-2751.

Murray, J dan AF Renard. 1891. Report on deep-sea deposits based on the specimens collected during the voyage of H.M.S. Challenger in the years of 1872 to 1876. Challenger Rept. Hlm. 378-391.

Nanz, RH. 1953. Chemical composition of pre-Cambrian slates with notes on the geochemical evolution of lutites. Jour. Geol. 61:51-64.

Nicholls, GD. 1962. A scheme for re-calculating the chemical analyses of argillaceous rocks for comparative purposes. Amer. Mineral. 47:34-46.

Oefelein, RT. 1934. A mineralogical study of loess near St. Charles, Missouri. Jour. Sed. Petr. 4:36-44.

Oertal, G dan CD Curtis. 1972. Clay-ironstone concretion preserving fabrics due to progressive compaction. Bull. GSA 83:2597-2606.

Payton, CE dan LA Thomas. 1959. The petrology of some Pennsylvanian black “shales.” Jour. Sed. Petr. 29:172-177.

Peterson, MNA. 1962. The mineralogy and petrology of Upper Mississippian carbonate rocks of the Cumberland Plateau in Tennessee. Jour. Geol. 70:1-31.

Pettjohn, FJ dan H Bastron. 1959. Chemical composition of argillites of the Cobalt Series (Precambrian) and the problems of soda-rich sediments. Bull. GSA 70:593-599.

Pettijohn, FJ, PE Potter, dan R Siever. 1965. Geology of Sand and Sandstone. Bloomington: Indiana Univ. 205 h.

Picard, MD. 1953. Marlstone—A misnomer as used in Uinta Basin, Utah. Bull. AAPG 37:1075-1077.

Potter, PE dan HD Glass. 1958. Petrology and sedimentation of the Pennsylvanian sediments in southern Illinois: A vertical profile. Illinois Geol. Surv. Rept. Inv. 204. 60 h.

Potter, PE, NF Shimp, dan J Witters. 1963. Trace elements in marine and fresh-water argillaceous sediments. Geochim. Cosmochim. Acta 27:669-694.

Pryor, WA dan HD Glass. 1961. Cretaceous-Tertiary clay mineralogy of the Upper Mississippia Embayment. Jour. Sed. Petr. 31:38-51.

Raiswell, R. 1971. The growth of Cambrian and Liassic concretions. Sedimentology 17:147-171.

Reiche, P. 1950. A survey of weathering processes and products. Univ. New Mexico Publ. Geol. 3. 95 h.

Rich, JL. 1951. The probable fondo origin of Marcellus-Ohio-New Albany-Chattanooga bituminous shales. Bull. AAPG 35:2017-2040.

Ries, H. 1927. Clays: Origin, Properties, and Uses. edisi-3. New York: Wiley. 613 h.

Robinson, GW. 1951. Soils: Their Origin, Constitution and Classification. edisi-3. London: Murby. 573 h.

Rogers, JJW, WC Kreuger, dan M Krog. 1963. Sizes of naturally abraded materials. Jour. Sed. Petr. 33:628-632.

Rubey, WW. 1929. Origin of the siliceous Mowry Shale of the Black Hills region. USGS Prof. Paper 154-D. Hlm 153-170.

Rubey, WW. 1931. Lithologic studies of fine-grained Upper Cretaceous sedimentary rocks of the Black Hills region. USGS Prof. Paper 165-A. 54 h.

Ruedemann, R. 1934. Paleozoic plankton of North America. GSA Mem. 2. 140 h.

Russell, IC. 1889. Subaerial decay of rocks and origin of the red color of certain formations. USGS Bull. 52. 63 h.

Russell, RJ. 1944. Lower Mississippi Valley loess. Bull. GSA 55:1-40.

Russell, RJ dan RD Russell. 1939. Mississippi River delta sedimentation. Dalam: PD Trask (ed.) Recent Marine Sediments. Tulsa: AAPG. Hlm. 153-177.

Scheid, VE. 1945. Preliminary report on Excelsior high-alumina clay deposit, Spokane County, Washington. USGS Unpublished Report. 66 h.

Schmitt, HA. 1924. Possible potash production from Minnesota shale. Econ. Geol. 19:72-83.

Schuchert, C. 1915. The conditions of black shale deposition as illustrated by the Kupferschiefer and Lias of Germany. Trans. Amer. Phil. Soc. 54:259-269.

Schuchert, C. 1931. Geochronology or the age of the earth on the basis of sediments and life. Bull. Nat. Res. Council 80:10-64.

Schwab, FL. 1969. Geosynclines: What contribution to the crust? Jour. Sed. Petr. 39:150-158.

Sederholm, JJ. 1931. On the sub-Bothian unconformity and on Archean rocks formed by secular weathering. Bull. Comm. Geol. Finlande No. 95. 81 h.

Sharp, RP. 1940. Eo-Archean and eo-Algonkian erosion surfaces. Bull. GSA 51:1235-1270.

Shaw, DB dan CE Weaver. 1965. The mineralogical composition of shales. Jour. Sed. Petr. 35:213-222.

Shaw, DM. 1956. Geochemistry of pelitic rocks. III: Major elements and general geochemistry. Bull. GSA 67:919-934.

Shearer, HK. 1918. The slate deposits of Georgia. Bull. Georgia Geol. Surv. No. 34. 192 h.

Shelton, JW. 1962. Shale compaction in a section of Cretaceous Dakota Sandstone, northwestern North Dakota. Jour. Sed. Petr. 32:873-877.

Shrock, RR. 1948. A classification of sedimentary rocks. Jour. Geol. 56:118-129.

Shukri, MN. 1942. The use of pH-values in determining the environment of deposition of some Liassic clays and shales. Bull. Fac. Sci. Fouad I Univ. 24:61-65.

Simonson, RW dan CE Hutton. 1954. Distribution curves for loess. Amer. Jour. Sci. 252:99-105.

Sloss, LL. 1968. Sedimentary volumes on the North American craton. GSA Program with abstracts, 1968 Ann. Mtg., Mexico City. Hlm. 281.

Smalley, IJ. 1966. The properties of glacial loess and the formation of loess deposits. Jour. Sed. Petr. 36:669-676.

Smalley, IJ. 1971. “In-situ” theories of loess formation and the significance of the calcium-carbonate content of loess. Earth Sci. Rev. 7:67-85.

Smalley, IJ dan C Fita-Vinzi. 1968. The formation of fine particles in sandy deserts and the nature of “desert” loess. Jour. Sed. Petr. 38:766-774.

Smith, GD. 1942. Illinois loess-variations in its properties and distribution. Bull. Illinois Agric. Exp. Sta. 490. Hlm. 139-184.

Ström, KM. 1936. Land-locked waters: Hydrography and bottom deposits in badly-ventilated Norwegian fjords with remarks upon sedimentation under anaerobic conditions. Skrifte Norske Videnskaps. Akad. Oslo, Mat. Natur., Kl., 1(7):1-85.

Sundelius, HW. 1970. The Carolina Slate Belt. Dalam: GW Fisher, FJ Pettijohn, JC Reed Jr., dan KN Weaver (ed.) Studies of Appalachian Geology. New York: Wiley. Hlm. 351-367.

Swineford, A dan JC Frye. 1955. Petrographic comparison of some loess samples from western Europe with Kansas loess. Jour. Sed. Petr. 25:3-23.

Tank, R. 1969. Clay mineral composition of the Tipton Shale member of the Green River Formation (Eocene) of Wyoming. Jour. Sed. Petr. 39:1593-1595.

Taylor, JH. 1949. Petrology of the Northampton sand ironstone formation. Mem. Geol. Surv. Great Britain. 111 h.

Thwaites, FT. 1944. Review of R. J. Russell’s article on loess. Jour. Sed. Petr. 14:246-248.

Tomadin, L. 1964. Orientament attuali sulla sistematica delle rocce argillose. Ann. Mus. Geol. Bologna, Ser. 2, 32:531-543.

Tomlinson, CW. 1916. The origin of red beds. Jour. Geol. 24:153-179.

Trask, PD. 1931. Compaction of sediments. Bull. AAPG 15:271-276.

Trask, PD. 1937. Studies of source beds in Oklahoma and Kansas. Bull. AAPG 21:1377-1402.

Twenhofel, WH. 1937. Terminology of the fine-grained mechanical sediments. Rept. Comm. Sedimentation 1936-1937. Nat. Res. Council, Div. Geol. Geogr. Hlm. 81-104.

Twenhofel, WH. 1939. Environments of origin of black shales. Bull. AAPG 23:1178-1198.

Udden, JA. 1898. Mechanical composition of wind deposits. Augustana Library Publ. 1.

Udden, JA. 1914. The mechanical composition of clastic sediments. Bull. GSA 25:655-744.

Ulrich, EO. 1911. Revision of the Paleozoic system. Bull. GSA 22:358.

Van Houten, FB. 1961. Climatic significance of red beds. Dalam: Descriptive Climatology. New York: Wiley. Hlm. 89-139.

Vita-Finzi, C dan IJ Smalley. 1970. Origin of quartz silt: Comments on a note by Ph. H. Kuenen. Jour. Sed. Petr. 40:1367-1368.

Vogt, T. 1927. Geology and petrology of the Sulitelma district. Norges Geol. Undersölkelse No. 121. Hlm. 449-560.

Weaver, CE. 1958. Geological interpretation of argillaceous sediments. Bull. AAPG 42:254-271.

Weaver, CE. 1967. Potassium, illite, and the ocean. Geochim. Cosmochim. Acta 31:2181-2196.

Weaver, CE dan KC Beck. 1971. Clay water diagenesis during burial: How mud becomes gneiss. GSA Spec. Pap. 134. 96 h.

Weiss, MP. 1954. Felspathized shales from Minnesota. Jour. Sed. Petr. 24:270-274.

White, WS dan JC Wright. 1954. The White Pine copper deposit, Ontonagan County, Michigan. Econ. Geol. 49:675-716.

Williams, GE. 1968. Torridonian weathering and its bearing on Torridonian paleoclimate and source. Scottish Jour. Geol. 4:164-184.

Woolnough, WG. 1928. Origin of white clays and bauxite, and chemical criteria of peneplanation. Econ. Geol. 23:887-894.

Yaalon, DH. 1962a. Mineral composition of the average shale. Clay Min. Bull. 5:31-36.

Yaalon, DH. 1962b. Weathering and soil development through geologic time. Bull. Res. Council Israel, Sect. G, vol. 11G.

Yaalon, DH (ed.) 1971. Paleopedology—Origin, Nature and Dating of Paleosols. Internat. Soc. Soil Sci. and Israel Univ. Press. 350 h.

Zen, E-an. 1959. Clay mineral-carbonate relations in sedimentary rocks. Amer. Jour. Sci. 257:29-43.

Author: MualMaul

leaving as a legend!!!

One thought on “Batuan Sedimen (Pettijohn, 1975): Bab 8. SERPIH, ARGILIT, DAN BATULANAU

  1. makasih,,Sangat bermamfaat

Leave a reply to reza aprilda Cancel reply