Raga tua itu tidak serta merta lelah termakan oleh usia. dibalik kerutan wajah yang terlihat jelas serta rambut yang mulai hampir semuanya berubah putih lelaki senja itu masih tetap bersahaja berjalan diatas kedua kakinya. pertama kali melihat dia, yang terlintas hanya bayangan lelaki tua kebanyakan yang renta termakan usia. dan semua pemikiran itu pupus ketika melihat sendiri apa yang mampu dilakukan dengan fisik tuanya tersebut.
dayak gaai, itulah sukunya, suku dari masyarakat kebanyakan di wilayah sungai kayan, bulungan. usianya sudah melewati 60an. tidak tau jelas berapa angka pastinya. namun yang pasti dia masih mampu menaiki puluhan bukit dalam sehari, ataupun berjalan kaki sejauh puluhan kilometer di jalan umum. tak sedetikpun terlihat raut wajah pesimis di air mukanya.
beliau ini salah satu tenaga lokal yang diminta tolong untuk membantu pelaksanaan pemetaan penyebaran batubara dalam tim kami. jam terbang sebagai pekerja bukan kemaren sore. sudah dari umur 25 tahunan dia sudah mulai keluar masuk hutan. kebanyakan pekerjaan yang dilakukannya di hutan antara lain mencari gaharu, kerja kayu dan kadang urusan tambang. bahkan untuk urusan tambang sendiri banyak macamnya dari bijih besi, emas, nikel dan tentunya batubara. coba tanyakan soal geolistrik, pasti langsung disautnya dengan kata “elektroda”. bicara soal GPS, mungkin baru dia ini tenaga lokal yang berbicara dengan hitung mata angin plus derajat denganku.
rantauan beliau paling jauh sampai sumatra, mendekati riau. sulawesi pun sudah. kebanyakan ya kerja kayu. terkadang disela istirahat sore atau malam beliau menceritakan tentang pengalaman dan certita tentang perjalanan hidupnya.
hidup di dalam hutan sudah biasa buat pak Temo, bahkan sendirian pun pernah dijalaninnya di tengah gelap rimba belantara. tas yang beliau pakai hanya tas usang berwarna putih dan sebuah tas paha sekelas eiger dan rei (sepertinya ini pemberian/kenang-kenangan dari orang yang pernah bekerja dengannya).
mari kita bedah apa saja yang menjadi andalannya ketika di hutan. sepatu bot tanggung berwarna hitam lengkap dengan kaos kaki bola warna hijau yang sengaja disobek bagian atasnya untuk mengikatnya ke kaki biar tidak kelonggaran. naik ke pinggang terselip sebuah parang banjar lengkap dengan pisau irisnya. didalam tasnya ada apa yaaa???
ini dia isi dalam tasnya. ada tasi plus kail pancingan, kapak kecil untuk membelah kayu gaharu, mata tombak untuk berburu, serta batu asah lengkap baik halus maupun kasar. hitung punya hitung kok sepertinya masih ada yang kurang ya. ternyata dia tidak punya ketapel. ahahaha… sudah kita selesaikan urusan menggosipkan peralatan tempurnya sebagai seorang manusia hutan.
lirih suaranya seirama dengan halusnya tutur kata. bukan halusnya orang munafik tapi benar-benar dalam kesederhanaan. dalam setiap kalimatnya tidak terkesan keangkuhan dan kehati-hatian namun selalu terselip petuah bijak yang mengalir pasti. tidak berkesan menggurui namun selalu bisa mengingatkan kesalahan-kesalahan yang sering terulang. bahkan dalam tawa kecilnya tersimpan makna hidup yang seakan selalu ada untuk kita.
biar afdol sekalian aja diceritakan yang aneh-aneh tentang beliau. siapa tau suatu saat nanti pak temo mampir di blog ini sambil baca tulisan ini plus ketawa-ketiwi sendiri. okelah… berjalan lebih dari 60 KM tanpa membawa bekal apapun kecuali parang dan rokok sebungkus. tembus sampai kampung tanpa bawa air minum. biar kata ujung-ujungnya pake acara minum air parit kubangan ban di jalanan, tetap patut diacungi full jempol. kalo di hutan tidak pernah capek, mau seperti apapun medannya. yang penting bahan bakarnya yang bermerek Piala Mas masih ada untuk dibakar. malam hari selepas kerja masih bejalan sendirian menyusuri hutan untuk berburu.ckckckc… tapi yang paling tidak masuk akal itu ketika dia pergi mengambil korek api dan beberapa batang rokoknya yang tertinggal siang sebelumnya. jaraknya 6 KM. tidak tau kapan perginya, kapan sampainya ehh paginya dengan santai dia bilang rokok dan koreknya sudah diambil. alamakkk…
Yah… waktu jualah yang memisahkan. padahal masih banyak petuah yang patut dijadikan bekal hidup belum sempat diminta dari beliau. tapi kebersamaan selama 6 hari bersama baliau sudah lebih dari cukup untuk memandang hidup dengan optimis. sama seperti ketika harus melewati puluhan bukit dengan kaki yang tak mampu berbuat banyak namun puluhan bukit itu harus tetap dilewati meski harus berjalan dengan tongkat dan selalu menghimpun semangat yang tersisa di setiap point ketika menengadahkan kepala menatap puncak yang harus ditaklukkan.