Wingman Arrows

La Douleur Est Temporaire, La Victoire Est Toujours

Batuan Sedimen (Pettijohn, 1975): Bab 2. KHULUK DAN ASAL-USUL BATUAN SEDIMEN

Leave a comment

BAB 2

KHULUK DAN ASAL-USUL BATUAN SEDIMEN

2.1 TINJAUAN UMUM

Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 1, endapan sedimen adalah tubuh material padat yang terakumulasi di permukaan bumi atau di dekat permukaan bumi, di bawah kondisi tekanan dan temperatur yang rendah. Endapan sedimen umumnya merupakan produk penghancuran batuan tua yang kemudian diangkut dan didistribusikan oleh arus air atau angin. Sebagian sedimen merupakan hasil presipitasi kimia atau biokimia dari larutan. Ada beberapa jenis sedimen yang tidak berasal dari hancuran batuan tua, misalnya batubara yang pada dasarnya merupakan residu organik yang berasal dari tumbuhan serta sedimen vulkanogenik yang berasal dari material hasil letusan gunungapi. Sedimen yang tidak berasal dari batuan tua umumnya memiliki volume yang relatif kecil dan agak jarang ditemukan.Selain itu masih ada material lain digolongkan ke dalam batuan sedimen, namun sangat jarang ditemukan, yaitu endapan material kosmik yang berasal dari ruang angkasa.

Seperti diketahui, para ahli geologi umumnya membedakan batuan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. Walau demikian, Grabau (1904) memiliki pandangan lain mengenai penggolongan batuan. Dia membagi batuan ke dalam dua kelompok:, yakni batuan eksogenetik (exogenetic rocks) dan batuan endogenetik (endogenetic rocks) (gambar 2-1).

Batuan eksogenetik adalah batuan fragmental atau batuan klastika. Material penyusun batuan itu merupakan partikel-partikel padat yang terbentuk akibat fragmentasi batuan tua. Partikel-partikel itu diendapkan secara mekanik. Sebagian besar batuan sedimen termasuk ke dalam kategori ini. Selain itu, batuan beku piroklastik secara struktur dan tekstur memperlihatkan banyak kesamaan dengan sedimen klastika karena memang azas aerodinamika atau hidrodinamika yang mengontrol pem-bentukan batuan-batuan itu juga sama. Karena itu, tidak mengherankan bila keduanya sama-sama memiliki tekstur granuler.

Batuan endogenetik adalah batuan yang merupakan presipitat amorf atau kristalin dari larutan. Banyak sedimen seperti endapan garam—garam batu (rock salt), gipsum, anhidrit, dsb—serta sebagian besar batuan beku termasuk ke dalam golongan ini. Batuan beku itu, sebagaimana batuan sedimen kimia, dipresipitasikan dari larutan. Hukum fasa kimia yang mengontrol pembentukan sedimen kimia dan batuan beku adalah hukum yang sama. Jadi, sebenarnya tidak ada perbedaan prinsipil antara kristalisasi garam dengan kristalisasi batuan beku. Karena itu, tidak mengherankan bila kita lihat bahwa baik andesit maupun garam batu sama-sama memiliki tekstur kristalin yang saling kesit.

Bila kita akan membagi batuan berdasarkan proses pembentukannya, maka klasifikasi karya Grabau lebih tepat dibanding klasifikasi tradisional sebab bila dilihat dari segi proses memang pembentukan garam batu lebih mirip dengan pembentukan diabas, bukan dengan batugamping atau serpih, dan pembentukan tuf lebih mirip dengan pembentukan batupasir.

Kita juga dapat membagi batuan sedimen berdasarkan provenansinya. Berdasarkan provenansi, batuan sedimen dapat dibedakan menjadi batuan intrabasinal (intrabasinal rocks) dan batuan ekstrabasinal (extrabasinal rocks). Batuan intrabasinal adalah batuan yang tersusun oleh material yang terbentuk dalam cekungan, sedangkan batuan ekstrabasinal adalah batuan yang tersusun oleh material yang terbentuk di luar cekungan. Batuan yang tergolong ke dalam batuan intrabasinal adalah batu-an sedimen kimia dan biokimia, sedangkan batuan ekstrabasinal adalah batuan sedimen terigen atau batuan sedimen klastika.

Asal-usul dan pengakumulasian sedimen pada mulanya mungkin dipandang relatif sederhana. Pasir dan lumpur tampak terbentuk di daratan, kemudian terangkut melalui sungai untuk kemudian diendapkan di laut. Berbeda dengan batuan beku dan batuan metamorf, asal-usul sedimen mulanya tampaknya terbuka untuk diamati secara langsung. Kenyataannya tidak demikian. Tidak semua proses pembentukan sedimen dapat dilihat. Sebagai contoh, proses-proses diagenetik tidak dapat dilihat secara langsung. Kita juga tidak dapat melihat secara langsung arus turbid yang mengangkut dan mengendapkan sedimen. Pem-bentukan batuan kimia pada umumnya tidak pernah dapat diamati secara langsung. Dengan demikian, sebagaimana kasus batuan beku dan batuan metamorf, asal-usul batuan sedimen harus direkonstruksikan dari rekaman geologi, yaitu efek-efek yang dihasilkan oleh proses-proses yang bekerja dalam waktu yang lama. Efek-efek itu terutama berupa tekstur, struktur, dan mineralogi endapan. Karena itu, para ahli petrologi memikul tugas yang sangat berat, yakni mengamati rekaman geologi, kemudian membaca yang menyingkapkan tabir misteri yang terkandung didalamnya.

Sebenarnya tidak sedikit batuan sedimen yang sukar untuk dipastikan asal-usulnya: Apakah batuan-batuan itu termasuk ke dalam batuan eksogenetik atau batuan endogenetik. Kebanyakan batuan sedimen merupakan batuan eksogenetik sekaligus batuan endogenetik. Dengan kata lain, kebanyakan batuan merupakan endapan hibrid atau endapan poligenetik. Sebagaimana yang terlihat dalam gambar 2-2, material penyusun suatu sedimen dapat berasal dari hasil abrasi batuan tua, maupun hasil presipitasi kimia dan biokimia yang berasal dari air laut yang kemudian bergabung bersama-sama dengan material hasil abrasi untuk membentuk suatu tubuh endapan. Sirkulasi air tanah yang berlangsung kemudian dapat menyebabkan terendapkannya sejumlah besar mineral dalam ruang pori batuan.

Jenis batuan sedimen ditentukan oleh proporsi relatif dari material penyusunnya. Batuan yang terutama disusun oleh material hasil rombakan batuan tua dimasukkan ke dalam golongan batuan sedimen klastika. Contohnya adalah konglomerat, batupasir, dan batulempung. Batuan sedimen yang terutama disusun oleh material padat yang berasal dari larutan dimasukkan ke dalam kategori batuan sedimen kimia atau biokimia. Contohnya adalah batugamping, dolomit, evaporit, batubesi, fosforit, rijang, dan berbagai jenis batuan silikaan.

2.2 KEMAS

Dalam batuan beku dan batuan metamorf, mineral-mineral pembentuknya terletak saling bersentuhan secara menerus, membentuk tipe kontak yang disebut kontak saling kesit (interlocking contact). Dalam batuan sedimen klastika, material penyusun umumnya saling bersentuhan dengan tipe kontak yang disebut kontak tangensial (point contact; tangential contact). Karena memiliki geometri internal seperti itu, sedimen klastika memiliki porositas dan permeabilitas. Adanya porositas dan permeabilitas pada gilirannya memungkinkan sedimen klastika untuk menyimpan dan mengalirkan fluida. Batuan sedimen merupakan reservoar penting untuk gas alam, minyakbumi, air artesis, dan berbagai larutan garam. Porositas awal dari suatu jenis batuan sedimen mungkin cukup tinggi, namun kemudian nilai porositas itu menurun dengan terjadinya presipitasi mineral dalam ruang pori.

Keunikan mikrogeometri internal batuan sedimen klastika seperti yang telah disebutkan di atas muncul karena proses pembentukannya. Setiap unsur kerangka batuan sedimen klastika (butir pasir, kerikil, fragmen fosil) terbentuk di luar tempat pengendapannya, kemudian diangkut dan diendapkan secara mekanik dan menyebabkan terbentuknya kemas klastika. Meskipun sebagian batuan beku, khususnya endapan piroklastik stratiform, memperlihatkan geometri seperti endapan sedimen klastika, namun sebagian besar komponennya merupakan agregat kristalin yang terbentuk di tempat pengendapannya. Kemas sedimen seperti yang tergambarkan di atas sebenarnya bukan hanya merupakan ciri sedimen klastika, namun juga merupakan ciri dari sebagian besar batugamping. Batugamping itu, yang sebenarnya merupakan pasir dan lanau karbonat, tidak memper-lihatkan perbedaan esensil dengan pasir dan lanau klastika.

Karena individu-individu partikel penyusun batuan sedimen klastika tidak dan tidak dapat berada dalam kontak menerus, maka setiap tekanan yang diterima oleh batuan itu tidak akan dapat didistribusikan secara merata ke setiap sudut batuan. Tekanan yang diberikan oleh material batuan yang ada diatasnya akan diteruskan pada titik-titik kontak antar partikel yang tidak terlalu luas. Di lain pihak, dalam sistem ruang pori, fluida yang ada didalamnya hanya mendapatkan tekanan yang besarnya lebih kurang sama dengan tekanan yang dapat diberikan oleh kolom air yang terletak di tempat pengendapan itu (diasumsikan bahwa sistem pori berhubungan langsung dengan kolom air yang ada dalam lingkungan pengendapan). Di bawah tekanan yang tidak setimbang itu, pada titik-titik kontak antar partikel akan terjadi pelarutan, sedangkan dalam ruang-ruang pori akan terjadi presipitasi material hasil pelarutan itu. Dengan terus berjalannya proses presipitasi, maka akan terjadi pula proses penurunan volume ruang pori secara terus-menerus. Sejalan dengan itu, perbedaan tekanan yang diterima oleh unsur padat dan ruang pori dari endapan itu akan makin kecil sedemikian rupa sehingga sistem itu akan mendekati kesetimbangan.

Larutan pengisi sistem pori menjadi medium dimana reaksi-reaksi antara material hasil pelarutan komponen padat dengan larutan pengisi ruang pori tersebut berlangsung. Jika fluida yang terdapat dalam pori-pori batuan bergerak, maka material hasil pelarutan komponen padat dapat terangkut dalam bentuk larutan sehingga dapat keluar dari sistem batuan itu atau memasuki bagian-bagian lain dari sistem batuan tersebut. Mekanisme seperti itu pada gilirannya dapat menyebabkan berubahnya komposisi total dari sedimen tersebut.

Dari penjelasan singkat di atas, jelas sudah bahwa setiap orang yang mempelajari endapan sedimen hendaknya tidak hanya memperhitungkan komposisi komponen padat endapan sedimen, namun juga harus memperhitungkan fasa fluida sebagai bagian penting dari batuan. Sedimen yang kondisinya mendekati kondisi sewaktu diendapkan akan memiliki lebih banyak fasa cair, sedangkan sedimen dengan kondisi diagenesis (atau metamorfisme) yang lebih tinggi daripada kondisi asalnya akan lebih banyak tersusun oleh komponen padat dan makin mirip dengan sifat batuan beku dan batuan metamorf.

Ada sejumlah batuan sedimen yang tidak memiliki kemas klastika, yakni:

1. Presipitat akuatis, misalnya gipsum dan anhidrit.

2. Akumulasi in situ seperti batubara.

3. Sedimen yang pada saat terbentuk memiliki kemas klastika, namun kemudian tertransformasi akibat rekristalisasi dan replacement. Contohnya adalah dolomit.

4. Sedimen yang pada saat terbentuk memiliki kemas klastika, namun kemudian terkonversikan menjadi mosaik-mosaik akibat secondary enlargement. Contohnya adalah batugamping kristalin (“marmer sedimenter”).

2.3 KOMPOSISI SEDIMEN

Batuan sedimen berbeda dengan batuan beku karena batuan sedimen memiliki komposisi yang lebih bervariasi, meskipun ada beberapa diantaranya yang memiliki komposisi sangat sederhana. Konsentrasi unsur-unsur kimia di kerak bumi terutama ditemukan dalam batuan sedimen. Sebagian konsentrat itu merupakan produk pembersihan dan penggabungan residu pelapukan batuan tua, misalnya saja pasir kuarsa yang dapat mengandung silika > 99%. Sebagian lain merupakan produk proses-proses kimia dan biokimia selektif, jika kondisinya memungkinkan. Contohnya adalah batugamping kalsium-tinggi (mengandung CaCO3 > 99%), garam batu, dan gipsum. Tidak ada batuan beku yang memiliki karakter seperti batuan-batuan yang disebut terakhir ini.

Mineral-mineral yang terbentuk pada suatu tempat, kemudian terangkut dan diendapkan secara mekanik sebagai komponen endapan sedimen, disebut mineral alogen (allogenic minerals). Mineral-mineral yang terbentuk secara in situ pada tempat pengakumulasian sedimen disebut mineral autigen (authigenic minerals). Karena itu, dalam menganalisis sedimen, kita jangan hanya mengidentifikasi jenis mineral atau hanya menghitung proporsinya, namun kita juga harus menentukan apakah suatu mineral merupakan mineral alogen atau mineral autigen. Lebih jauh lagi, kita harus menentukan apakah suatu mineral autigen merupakan syndepositional authigenic mineral atau postdepositional authigenic mineral. Dengan kata lain, kita harus membedakan mineral mana yang merupakan hasil presipitasi dalam ruang pori batuan dan mineral mana yang merupakan hasil replacement. Untuk dapat menentukan hal itu, kita harus melakukan penelitian terhadap tekstur partikel penyusun sedimen dengan cara mengamati sayatan tipisnya.

Berbeda dengan mineral batuan beku dan batuan metamorf, mineral penyusun batuan klastika bukan merupakan kumpulan setimbang. Mineral-mineral itu tidak dipresipitasikan dalam kesetimbangan satu terhadap yang lain atau terhadap fluidanya. Meskipun tidak berada dalam kondisi kesetimbangan, reaksi-reaksi kimia yang dapat menjadikan sistem itu menjadi setimbang umumnya tidak terjadi karena temperatur dan tekanannya terlalu rendah sehingga kurang mendukung terjadinya reaksi-reaksi tersebut. Komposisi mineral endapan sedimen dapat terubah jika temperaturnya bertambah dan faktor-faktor yang menghambat reaksi dapat teratasi. Hal inilah yang menyebabkan mengapa batuan sedimen dapat termetamorfosa bila terletak jauh di dalam bumi. Walau demikian, sebenarnya ada reaksi-reaksi yang masih mungkin terjadi di bawah kondisi tekanan dan temperatur yang rendah. Reaksi-reaksi yang disebut reaksi diagenetik (diagenetic reactions) itu terutama terjadi antara komponen detritus dengan fluida ruang pori. Dalam sedimen yang terbentuk melalui presipitasi larutan atau akumulasi biokimia, banyak diantara komponennya bersifat metastabil dan relatif mudah terubah akibat bereaksi. Tipe transformasi diagenetik yang terjadi pada komponen seperti itu adalah pembentukan garam. Pembentukan garam itu pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi ruah sedimen tersebut.

Dalam sebagian besar sedimen non-klastika, mineral berada dalam kondisi setimbang. Zen (1959) menunjukkan bahwa kesetimbangan seperti itu terlihat pada sedimen di Peruvian Trench karena adanya reaksi-reaksi diagenetik di dasar laut. Kesetimbangan lain juga ditemukan dalam batuan karbonat Cumberlain Plateau di Tennessee (Peterson, 1962). Tidak diragukan bahwa kesetimbangan seperti itu juga akan ditemukan dalam garam-garam evaporit.

2.4 KLASIFIKASI

Klasifikasi batuan sedimen merupakan masalah yang banyak menguras pemikiran para ahli sedimentologi. Namun, meskipun telah banyak usaha dilakukan, hingga saat ini belum ada satupun bentuk klasifikasi yang memuaskan semua pihak. Karena itu, ada baiknya bila kita mencoba mengangkat masalah itu untuk mengetahui tujuan yang ingin dicapai melalui klasifikasi batuan dan mengetahui prinsip-prinsip penyusunan klasifikasi batuan sedimen. Banyak ahli tidak mengemukakan hal ini secara eksplisit, meskipun ada diantara mereka yang telah membahas filosofi yang melandasi klasifikasi batuan sedimen (Grabau, 1904; Wadell, 1938; Krynine, 1948; Pettijohn, 1948; Lombard, 1949; Rodgers, 1950; Middleton, 1950).

Seperti dikemukakan oleh Rodgers, masalah klasifikasi akan berbuntut panjang karena berkaitan dengan masalah tatanama atau tata istilah. Nama ilmiah menyatakan suatu kelompok atau kategori objek sehingga mengimplikasikan klasifikasi. Klasifikasi pada hakekatnya merupakan usaha untuk mengelompokkan objek ke dalam kategori-kategori tertentu, ke dalam kategori mana kemudian diberikan nama. Jadi, tujuan pertama dari klasifikasi adalah untuk memberikan nama kepada setiap kategori sedemikian rupa sehingga dalam mengemukakan suatu objek kita cukup menyatakan namanya saja; tidak perlu membuat pemerian panjang lebar tentang keseluruhan ciri objek tersebut. Hanya dengan cara seperti inilah maka komunikasi dapat menjadi lebih lancar. Karena itu, agar dapat memenuhi fungsi tersebut, suatu sistem klasifikasi dan tatanama hendaknya disepakati oleh orang-orang yang memerlukan adanya sistem tersebut.

Di lain pihak, sebagaimana dikemukakan oleh Grabau, presisi dalam penyusunan skema klasifikasi akan memicu peningkatan presisi pemikiran kita dan sangat bermanfaat sebagai sebuah disiplin mental. Klasifikasi merupakan suatu cara khusus untuk mengungkapkan pengetahuan kita mengenai suatu objek. Dengan demikian, penyusunan skema klasifikasi suatu objek pada dasarnya merupakan usaha untuk menyusun pengetahuan kita mengenai objek tersebut. Jadi, tujuan kedua dari klasifikasi adalah menyajikan pengetahuan kita secara sistematis.

Pendefinisian suatu kategori benda memerlukan pemilihan parameter-parameter pembatas. Pemilihan parameter mungkin didasarkan pada konvensi, penggunaan sehari-hari, atau berdasarkan kesepakatan diantara pemakainya. Namun, patut diingat bahwa karena genesis batuan merupakan tujuan akhir dari setiap penelitian batuan, maka parameter-parameter yang dipilih dalam menggolongkan suatu batuan hendaknya memiliki nilai genetik. Kesulitan-kesulitan yang muncul dalam menggolongkan batuan sedimen muncul karena ketidakberhasilan kita dalam mengenal perbedaan-perbedaan mendasar antara batuan klastika (batuan eksogenetik) dengan batuan kimia (batuan endogenetik). Sifat-sifat penting dari kelompok pertama bukan merupakan sifat-sifat penting dari kelompok kedua. Jadi, untuk menerapkan parameter-parameter tekstur yang sama terhadap semua batuan karbonat, yang pada kenyataannya merupakan endapan poligenetik, justru akan menyebabkan timbulnya kebingungan mengenai sejarah alaminya.

Batuan merupakan benda dengan sifat yang kompleks dan kita tidak mungkin (dan tidak perlu) menyusun skema klasifikasi yang didasarkan pada semua sifat sedimen. Suatu klasifikasi yang berguna cukup mendasarkan diri pada dua atau tiga sifat. Sifat-sifat lainnya diabaikan. Pertimbangan yang dipakai untuk memilih sifat-sifat yang akan dijadikan variabel klasifikasi tidak hanya sifat yang memiliki arti genetik, namun juga relevan. Memang, tidak diragukan lagi bahwa setiap sifat memiliki kebenaan tersendiri. Namun, tidak setiap sifat relevan dengan tujuan penelitian. Maksudnya, setiap sifat yang dipilih sebagai variabel klasifikasi hendaknya mudah diamati/diukur serta tidak memerlukan metoda dan peralatan yang terlalu rumit untuk mengenal-nya. Sebagai contoh, magnetic susceptibility memiliki arti penting genetik yang sama dengan besar butir, namun sifat kurang relevan dengan tujuan penelitian kita karena untuk mengetahui sifat itu kita perlu melakukan pengukuran-pengukuran yang rumit. Contoh lain, komposisi kimia juga penting dan berguna, namun kurang terpakai dalam klasifikasi batuan sedimen.

Di atas telah dikatakan bahwa setiap klasifikasi batuan didasarkan pada sifat-sifat yang penting. Masalahnya sekarang adalah: Sifat-sifat mana yang hendaknya dianggap penting? Masalah pemilihan sifat yang dipandang penting sebenarnya dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan. Berbagai gagasan dan penemuan baru akan mempengaruhi pemilihan kita sehingga dapat mengubah sistem klasifikasi dan tatanama yang ada. Karena itu, tidak mengherankan apabila ada suatu klasifikasi, setelah suatu selang waktu tertentu, kemudian direvisi atau diubah sama sekali. Ketidakstabilan sistem klasifikasi dan tatanama seperti itu memang dapat mengganggu studi, namun hal itu harus disambut dengan gembira karena merupakan bukti adanya kemajuan. Hal itu juga menyadarkan kita bahwa pada hekekatnya klasifikasi merupakan kodifikasi dari gagasan dan konsep yang kita miliki, sedangkan kita tahu bahwa konsep dan gagasan ilmiah selalu berubah.

Klasifikasi batuan sedimen bersifat tradisional dan boleh dikatakan baru berkembang. Memang telah ada usaha untuk membuat standar kuantitatif: mendefinisikan kembali berbagai peristilahan, membuat batas-batas kuantitatif, serta menghilang-kan istilah-istilah yang keliru dan tidak berguna. Usaha-usaha itu ada yang ditujukan pada sebagian jenis batuan sedimen (lihat misalnya beberapa laporan Committee on Sedimentation; Wentworth & Williams 1932, tentang sedimen piroklastik; Wentworth 1936, tentang batuan klastika kasar; Allen 1936, tentang batuan klastika berbutir sedang; Twenhofel 1937, tentang batuan klastika halus; dan Tarr 1938, tentang batuan sedimen silikaan). Ada juga usaha-usaha lain yang ditujukan untuk menyusun sistem klasifikasi menyeluruh dari batuan sedimen.

Salah satu hal yang menimbulkan kesulitan dalam penyusunan skema klasifikasi menyeluruh dari batuan sedimen sebenar-nya sederhana, yaitu karena endapan sedimen bersifat poligenetik. Jika suatu skema klasifikasi disusun berdasarkan sifat yang memiliki arti genetik penting, biasanya skema itu hanya berguna untuk kerabat sedimen tertentu, namun kurang atau bahkan tidak berguna sama sekali untuk kerabat sedimen yang lain. Sebagai contoh, konsep kematangan (maturity) memang bersifat mendasar, namun hanya dapat diterapkan pada sedimen yang merupakan residu pelapukan batuan sumber dan tidak berarti bila diterapkan pada material piroklastik. Provenansi juga merupakan konsep dasar untuk memahami tekstur dan komposisi batuan klastika, namun hanya sedikit atau tidak berguna bila diterapkan pada sedimen kimia. Dari dua contoh di atas jelas sudah bahwa sukar bagi kita untuk menyusun suatu skema klasifikasi yang menyeluruh pada endapan sedimen.

Namun, masih mungkin bagi kita untuk membentuk skema-skema klasifikasi parsial yang dapat diterapkan pada kerabat endapan sedimen tertentu. Sebagai contoh, banyak ahli telah mencoba menyusun skema klasifikasi batupasir dan batugamping. Di lain pihak, kita juga melihat adanya skema-skema klasifikasi yang dipandang masih belum memuaskan, sesuai dengan perkembangan geologi masa sekarang, misalnya klasifikasi sedimen argilit.

Dalam buku ini penulis mencoba untuk membedakan batuan sedimen ke dalam kerabat-kerabat seperti yang terlihat pada gambar 2-3. Skema klasifikasi itu disusun hanya berdasarkan konvensi belaka. Untuk mengetahui skema klasifikasi parsial untuk setiap kategori sedimen itu, pembaca dapat melihatnya dalam setiap bab yang khusus membahasnya.

2.5 VOLUME DAN MASSA TOTAL SEDIMEN

Batuan sedimen dan batuan metasedimen diperkirakan hanya menempati sekitar 5% volume litosfir, sedangkan batuan beku dan batuan meta-beku meliputi sekitar 95% sisanya (Clarke, 1924). Di lain pihak, batuan sedimen dan metasedimen menempati 75% luas daratan, sedangkan batuan beku dan batuan meta-beku hanya menempati 25% sisanya (gambar 2-4). Dari data-data itu dapat disimpulkan bahwa sedimen merupakan batuan yang hanya menempati bagian terluar bumi yang sangat tipis. Meskipun ketebalan sedimen terkadang tampak demikian tebal, dapat mencapai ketebalan 13 km, namun ketebalan rata-ratanya di wilayah benua hanya sekitar 2,2 km (menurut Mead, 1915) atau 1,8 km (menurut Blatt, 1970). Dasar samudra ditutupi oleh sedimen dengan ketebalan yang belum dapat dipastikan. Meskipun demikian, berdasarkan taksiran-taksiran yang ada, ketebalan sedimen itu berkisar mulai dari 0,2 km (Blatt, 1970) hingga lebih dari 3,0 km (Kuenen, 1941), dengan tebal rata-rata sekitar 1 km (Garrels & Mackenzie, 1971). Ketidakseragaman angka-angka yang diperoleh para ahli seperti terlihat di atas mendorong kita untuk bertanya: Mengapa hal itu bisa terjadi?

Volume dan massa total sedimen di muka bumi ditentukan berdasarkan cara penaksiran yang berbeda-beda. Jika diasumsi-kan bahwa semua natrium yang ada di laut diperoleh melalui pelindian (leaching) batuan beku primitif, maka akan terlihat bahwa kadar garam di laut dewasa ini berkorespondensi dengan dekomposisi lengkap batuan beku setebal 0,5 km (Clarke, 1924:31). Karena sejumlah natrium itu terikat dalam batuan, dan dalam garam-garam laut-dalam, maka harga di atas masih kurang tepat dan perlu dikoreksi. Hasil pengkoreksian menunjukkan bahwa ketebalan batuan beku yang terdekomposisi sehingga memenuhi garam yang ada di laut, dalam batuan sedimen, dan dalam garam-garam laut-dalam adalah 0,8 km. Selain dari batuan beku, selama batuan beku berubah menjadi batuan sedimen, volume sedimen juga bertambah karena adanya proses oksidasi, karbonisasi, dan hidrasi. Menurut asumsi Clarke (1924), volume sedimen yang terbentuk karena ketiga proses itu lebih kurang 10% dari volume total yang terbentuk dari pelindian batuan beku. Dengan demikian, volume total sedimen yang terbentuk adalah 4,4 x 108 km3. Volume sebanyak itu, bila disebarkan secara merata di seluruh permukaan bumi, akan menghasilkan lapisan sedimen setebal 735 m. Bila disebarkan secara merata di semua batur benua (continental platform) di bumi ini (luas batur benua lebih kurang 1/3 luas permukaan bumi), maka material sebanyak itu akan menghasilkan lapisan sedimen setebal 2000 m. Berbeda dengan hasil taksiran Clarke (1924), Goldschmidt (1936) menaksir bahwa volume sedimen adalah 3,0 x 108 km3. Angka itu diperoleh berdasarkan hasil taksirannya terhadap kandungan natrium dalam air laut dan sedimen. Kuenen (1941) mengoreksi data yang diperoleh Clarke (1924) dan memperoleh angka 8 x 108 km3 untuk material yang terdisintegrasi tetapi tidak terdekomposisi (tuff, greywacke, dsb) sehingga dia memperoleh angka 13 x 108 km3 untuk keseluruhan.

Peneliti-peneliti lain melakukan taksiran berdasarkan sudut pandang yang berbeda. Salah satu cara yang dipakai adalah menaksir luas dan ketebalan akumulasi sedimen. Salah satu contohnya adalah perhitungan Poldevaart (1955) yang disusun berdasarkan taksirannya terhadap ketebalan sedimen pada perisai benua, sabuk lipatan muda, cekungan samudra, dan paparan benua. Untuk melakukan perhitungannya, Poldevaart (1955) menggunakan nilai taksiran yang dikemukakan oleh Kay (1951) dan mengkombinasikannya dengan taksiran terhadap hasil pengukuran geofisika dan laju sedimentasi. Angka yang diperolehnya adalah 6,3 x 108 km3. Horn & Adams (1966) menggunakan ancangan yang mirip dengan yang digunakan oleh Poldevaart (1955), namun menggunakan data yang berbeda. Mereka mendapatkan angka 10,8 x 108 km3. Masih dengan menggunakan ancangan yang mirip dengan Poldevaart (1955), Blatt (1970) memperoleh angka 4,8 x 108 km3. Angka yang disebut terakhir ini berkorespondensi dengan lapisan sedimen setebal 810 m untuk seluruh permukaan bumi.

Dengan menggunakan sejumlah asumsi mengenai densitas mineral dan porositas sedimen, atau dengan kata lain densitas ruah batuan, angka-angka di atas dapat dikonversikan menjadi nilai massa sedimen. Sebagai contoh, Poldevaart (1955) memperoleh angka 1702 x 1015 metrik ton untuk massa keseluruhan sedimen yang ada di bumi, sedangkan Garrels & Mackenzie (1971) memperoleh angka 3200 x 1015 metrik ton.

Bila kita melihat angka-angka di atas, mungkin timbul pertanyaan dalam diri kita: Apakah volume atau massa total sedimen yang ada di bumi ini selalu tetap atau berubah dari waktu ke waktu? Dengan kata lain: Apakah di bumi ini terdapat suatu kesetimbangan dimana jumlah sedimen yang terbentuk selalu dikompensasikan oleh jumlah sedimen yang terhancurkan melalui proses granitisasi? Pertanyaan-pertanyaan yang menarik itu pernah dibahas oleh Garrels & Mackenzie (1971) dan kita akan membahasnya kembali dalam Bab 17.

2.6 KELIMPAHAN RELATIF SEDIMEN YANG BIASA DITEMUKAN

Dari berbagai batuan sedimen, hanya beberapa jenis saja yang biasa ditemukan. Tiga jenis utama batuan sedimen (batupasir, serpih, dan batugamping) menempati lebih dari 90% ruah sedimen, namun kelimpahan setiap jenis batuan sedimen utama itu tidak sama. Banyak peneliti mencoba untuk menaksir kelimpahan relatif setiap jenis batuan sedimen utama itu.

Penaksiran umumnya dilakukan dengan dua cara: dengan metoda pengukuran langsung pada penampang geologi (tabel 2-2) dan metoda perhitungan geokimia proporsi rata-rata serpih, batupasir, dan batugamping sedemikian rupa sehingga didapat harga yang sama dengan harga volume batuan beku yang menjadi sumbernya (tabel 2-3). Pada 1907, Mead melakukan perhitungan dan menaksir bahwa proporsi serpih, batupasir, dan batugamping adalah 80, 11, dan 9. Taksiran baru yang dilakukan oleh Garrels & Mackenzie (1971) terhadap data yang lebih baik, menghasilkan angka 81, 11, dan 8.

Hasil yang diperoleh dari pengukuran dan perhitungan cukup berbeda (lihat kembali tabel 2-2 dan 2-3). Secara umum terlihat bahwa angka untuk proporsi batupasir dan batugamping yang diperoleh dari hasil pengukuran lebih tinggi dibanding dengan nilai proporsi yang diperoleh dari hasil perhitungan. Salah satu keterangan yang dapat dipakai untuk menjelaskan hal itu adalah karena serpih, jenis sedimen yang menurut hasil pengukuran memiliki proporsi rendah, banyak terangkut ke dasar laut-dalam sehingga kurang terwakili dalam rekaman stratigrafi yang ada di wilayah benua.

Sekali lagi, jika kita perhatikan angka-angka di atas, mungkin timbul pertanyaan: Apakah proporsi dan dominansi jenis sedimen selalu tetap sepanjang sejarah geologi? Pertanyaan ini pernah dibahas oleh Ronov (1964, 1968) serta Garrels & Mackenzie (1971). Pertanyaan yang sama akan dibahas pada Bab 17.

RUJUKAN

Allen, VT. 1936. Terminology of medium-grained sediments. Rept. Comm. Sed. 1935-1936. Nat. Res. Council. Hlm. 18-47.

Blatt, H. 1970. Determination of mean sediment thickness in the crust: A sedimentologic model. Bull. Geol. Soc. Amer. 81:255-262.

Clarke, FW. 1924. Data of Geochemistry. USGS Prof. Paper 770. 841 h.

Garrels, RM dan FT Mackenzie. 1971. Evolution of Sedimentary Rocks. New York: Norton. 397 h.

Goldschmidt, VM. 1933. Grundlagen der quantitativen Geochemie. Fortschr. Min. Krist. Petrogr. 17:112-156.

Grabau, AW. 1904. On the classification of sedimentary rocks. Amer. Geol. 33:228-247.

Holmes, A. 1913. The Age of the Earth. London: Harper & Row. 195 h.

Horn, MK dan JAS Adams. 1966. Computer-derived geochemical balances and element abundances. Geochim. Cosmochim. Acta 30:279-290.

Kay, M. 1951. North American Geosynclines. Geol. Soc. Amer. Mem. 48. 143 h.

Krynine, pd. 1948. The megascopic study and field classification of the sedimentary rocks. Jour. Geol. 56:130-165.

Kuenen, PH. 1941. Geochemical calculations concerning the total mass of sediments in the earth. Amer. Jour. Sci. 239:161-190.

Leitch, CK dan WJ Mead. 1915. Metamorphic Geology. New York: Holt, Rinehart and Winston. 337 h.

Lombard, A., 1949. Critères descriptifs et critères genetiques dans l’étude des roches sédimentaires. Bull. Soc. Belge Géol. 58:214-271.

Mead, WJ. 1907. Redistribution of elements in the formation of sedimentary rocks. Jour. Geol. 15:238-256.

Middleton, GV. 1973. Basic Concepts Used in Classifying Sedimentary Rocks: Symposium on Classification of Soils and Sedimentary Rocks. Ontario: Univ. of Guelph.

Peterson, MNA. 1962. The mineralogy and petrology of Upper Mississippian carbonate rocks of the Cumberland Plateau in Tennessee. Jour. Geol. 70:1-31.

Pettijohn, FJ. 1948. A preface to the classification of sedimentary rocks. Jour. Geol. 56:112-118.

Poldervaart, A. 1955. Chemistry of the earth’s crust. Dalam: A. Poldervaart (ed.) Crust of the Earth—A Symposium. Geol. Soc. Amer. Mem. 62, h. 119-144.

Rodgers, J. 1950. The nomenclature and classification of sedimentary rocks. Amer. Jour. Sci. 248:297-311.

Ronov, AB. 1964. Common tendencies in the chemical composition of the earth’s crust, ocean, and atmosphere. Geokhimiya 8:715-743.

Ronov, AB. 1958. Probable changes in the composition of sea water during the course of geologic time. Sedimentology 10:25-43.

Schuchert, C. 1931. Geochronology or the age of the earth on the basis of sediments and life. Dalam: The Age of the Earth. Bull. Nat. Res. Council 80:10-64.

Tarr, WA. 1938. Terminology of the chemical siliceous rocks. Rept. Comm. on Sedimentation 1937-1938. Nat. Res. Council. Hlm. 8-27.

Twenhofel, WH. 1937. Terminology of the fine-grained mechanical sediments. Rept. Comm. on Sedimentation 1936-1937. Nat. Res. Council. Hlm. 81-104.

Wadell, H. 1938. Proper names, nomenclature and classification. Jour. Geol. 46:546-568.

Wentworth, CK. 1935. The terminology of coarse sediments. Bull. Nat. Res. Council 98:225-246.

Wickman, FE. 1954. The “total” amount of sediment and the composition of the “average igneous rocks”. Geochim. Cosmochim. Acta 5:97-110.

Zen, E-an. 1959. Clay mineral-carbonate relations in sedimentary rocks. Amer. Jour. Sci. 257:29-43.

Author: MualMaul

leaving as a legend!!!

Leave a comment