Wingman Arrows

La Douleur Est Temporaire, La Victoire Est Toujours

Kisah Ibu-ibu Pencari Kayu Bakar Gunung Sumbing

12 Comments

Buat para petualang yang sering mendaki Gunung Sumbing, Jawa Tengah mungkin sering menemui pemandangan seperti ini. Namun bagi saya yang baru sekali mendaki gunung itu cukup kaget dengan apa yang saya lihat. 6 ibu-ibu yang berusia sekitar 35-50an tahun menuruni bukit sambil memanggul sebongkok kayu bakar yang beratnya bisa sama dengan berat badan mereka sendiri. Mereka adalah ibu-ibu pencari kayu bakar di daerah Gunung Sumbing.

Pemandangan ini saya lihat ketika mengikuti pendakian Gunung Sumbing bersama rekan-rekan Dharmapala UTY pada tanggal 17-18 mei 2008. Sudah lama memang pendakian ini, namun saya ingin berbagi cerita mengenai wanita-wanita tangguh ini. Pernahkah anda berpikiran bagaimana beratnya beban yang mereka pikul tersebut ditambah pula menuruni bukit yang berpasir, bukan tanah yang mudah untuk dijadikan pijakan. Lihat saja sepatu bot yang mereka gunakan, menandakan mereka adalah para pekerja keras.

jangan lihat pamuda-pemuda yang narsis di depan, tapi lihatlah para ibu-ibu tangguh di belakang yang berbaris menuruni bukit dengan pikulan kayu bakarnya. Sebenarnya saya tidak pernah mewawancarai ibu-ibu ini secara formal. Bagaimana mungkin itu dilakukan lha wong kita saja sedang di gunung, bukan di kompleks perkantoran. Hehehe…

sambil lalu ketika berpapasan dengan mereka, ibu-ibu itu mengurangi kecepatan menuruni bukit agar tidak terpeleset karena karikil-kerikil gunung sumbing. Kebetulan ada seorang ibu yang berhenti sejenak. Ada seorang rekan menanyakan beberapa hal mengenai kegiatan ibu-ibu itu. Begini rangkuman percakapannya. Kayu yang dipikul itu adalah kayu-kayu yang berasal dari pohon-pohon di gunung sumbing yang telah tumbang atau mati. Mereka tidak menebang ataupun dengan sengaja mematikan pohon untuk dijadikan kayu bakar di rumah mereka. Jadi mereka bukanlah perusak alam melainkan sekelomok ibu-ibu yang memanfaatkan alam yang bisa juga menjadi siasat saat kesulitan membeli gas sekarang (kalau dulu minyak, inget sekarang sudah konversi minah ke gas).

Ibu-ibu ini berangkat dari rumah mereka di kaki Gunung Sumbing sekitar jam 4 pagi. Dan ketika kami berpapasan waktu saat itu baru menunjukkan jam 10 pagi. Sebagai gambaran saja puncak gunung ini 3371 meter dpl. posisi pertemuan kami berada tidak jauh dari pusara seorang pendaki (saya lupa namanya siapa). kalau tidak salah sekitar 2 bukit dari pusara tersebut. Ketinggian saat itu diperkirakan sekitar 2000an mdpl. Bisa anda bayangkan betapa ngebutnya mereka mendaki gunung itu? Bandingkan dengan kami yang berangkat selepas ashar hari kemarinnya, posisinya masih disitu. Sedangkan ibu-ibu tersebut mengumpulkan kayu hampir mendekati puncak gunung. kondisi malam sebelumnya hujan lebat yang mengharuskan kami bermalam di sebuah shelter, tapi mereka bisa melewatinya dengan “mudah”.

Peralatan dan bekal yang mereka bawa tidak seheboh orang kota yang lengkap segala tetek benget alat tempur mendaki gunung, mereka hanya menggunakan baju seadanya tanpa jaket maupun raincoat. Makanan dan minuman yang mereka bawa juga seadanya untuk bekal mengisi perut di perjalanan. Sepatu bot dan sebuah sleyer yang dipakai untuk mengurani dingin di kepala serta panasnya terik matahari di siang hari. Hanya itu saja yang mereka bawa.

Ketika seorang teman menanyakan jam berapa nanti sampai di rumah, seorang ibu menjawab sekitar jam 1 siang (menggunakan bahasa jawa). Wuih…ngebut sekali mereka. Sungguh hebat. Menuruni bukit yang cukup curam mereka jalani hanya untuk kayu bakar di rumah. Apa mereka tidak capek ya? Hmm… aku rasa karena mereka sudah terbiasa melakukan ini, jadi kemungkinan capek ada tapi tidak seperti orang-orang yang jarang mendaki gunung. Bisa jadi sesampainya mereka di rumah, keesokan paginya mereka sudah naik kembali untuk mencari kayu bakar jika persedian kayu mereka sudah menipis di rumah. Wew…

Berikut ini beberapa foto yang saya ambil ketika berpapasan dengan mereka. Bukan foto gaya karena kami tahu mereka pasti capek dan sepertinya tidak manusiawi untuk meminta mereka bergaya dengan kami sambil memanggul seonggok kayu bakar dipunggung. Cekidot…

Salut kepada ibu-ibu ini. Mereka adala pendaki gunung sejati. Mencari kayu bakar naik dan turun gunung dengan bekal sedanya. Tidak merusak alam dengan apa yang mereka lakukan. Semoga para pendaki lain masih menemukan pemandangan ini ketika suatu saat mendaki Gunung Sumbing dan melihat secara langsung keperkasaan ibu-ibu ini.

Sampai jumpa pada kisah lainnya. Ciawwwww….

Author: MualMaul

leaving as a legend!!!

12 thoughts on “Kisah Ibu-ibu Pencari Kayu Bakar Gunung Sumbing

  1. waaaahhh…mantab gan salut buat ibu2 itu, kita yang harus patut contohin ibu – ibu ini, mereka masih mau melihara alam ini tidak di rusak…seepp..

    • yoi gan… mantab bener tu mbok-mbok… coba naik sumbing gan, kalo b eruntung bisa ketemu sama mereka. wah… baru juga diterbitin ni post, langsung hadir si agan… mantabz gan….

  2. salut.. sy aja kmrn naik 2 bukuit aja udah hampir pingsan hahahahahahaha

  3. Gan kui pas kw mendaki kaé yo?wk

  4. Hmmm, salah satu bukti bahwa perempuan2 itu diciptakan untuk menjadi orang yang tangguh.. Belum ngurus semua2nya di rumah, masih harus cari kayu bakar naik turun gunung. Salut buat para perempuan d(^-^)b
    Mumpung hari kartini nih,,, Mu ngucapin Met Hari Kartini buat semua perempuan2 di Indonesia… Keep the spirit of Kartini high 🙂

    • hu um… memang perempuan itu tangguh. lihat saja ibu2 kita di rumah. pasti sama tangguhnya. iya, ikut juga ahh… biarpun tadi pagi gak upacara. hehehe…

      Selamat Hari Kartini untuk seluruh Kartini-Kartini muda Indonesia.

  5. Ya, itulah perjuangan hidup. terkadang kita harus berjuang keras hanya untuk sesuap nasi dan bertahan hidup. saya salut dengan ibu2 itu, kita patut mencontohnya…

  6. Hebattt!!!ini baru wauuuwwwwww…
    Salut utk ibu2

  7. Aku tu anak dusun salakan lereng gunung sumbing,.tp aq blm prnah sampai puncak.

Leave a comment